Anak
anak merupakan bagian warga Negara yang justru harus di lindungi karena mereka
adalah geresi bangsa yang kelak akan meneruskan untuk memimpin bangsa
Indonesia. Setiap anak wajib di berikan pendidikan khusus dimana anak anak
tidak hanya di berikan pendidikan yang berhubungan dengan pendidikan formal
seperti sekolah, namun anak anak juga wajib mendapatkan pendidikan moral
sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagia bangsa dan
Negara. Ketika membicarakan hukum pidana anak, maka hal tersebut tidak
seluruhnya di terapkan pada anak anak, anak yang menjadi seorang pelaku tindak
pidana adalah anak anak yang telah melakukan tindakan yang bersifat criminal
tertentu, sehingga tidak semua kesalahan yang mereka perbuat akan berhubungan
langsung dengan hukum pidana yang di miliki oleh Negara Indonesia.
Terdapat pasal yang mengatur tentang hukuman anak yang menjadi pelaku pada tindak
pidana yaitu pada pasal 28 B dalam undang undang. Berdasarkan UUD pada pasal
28B tersebut yang menyatakan”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
tampak bahwa seorang anak wajib mendapatkan perlindungan atas hukum yang ada.
Dan hal yang sama juga di jelaskan dalam Undang Undang perlindungan anak yang
terdapat pada pasal 64, dimana dalam pasal tersebut di jelaskan tentang bentuk
perlindungan yang di berikan pada anak yang memiliki konflik atau masalah yang
menyangkut hukum, seperti berikut ini:
1.
Perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai martabat dan hak-hak anak itu sendiri
2.
Penyediaan petugas pendamping khusus
bagi anak sejak dini
3.
Penyediaan sarana dan prasarana
khusus;
4.
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi anak;
5.
Pemantauan dan pencatatan
terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6.
Pemberian jaminan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang tua dan keluarga;
7.
Perlindungan melalui pemberitaan
identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Prinsip yang berhubungan
perlindungan hukum pidana pada anak anak
yang akan di terapkan, dan yang akan di terima oleh anak anak akan di sesuakan
terlebih dahulu dengan konversi hak hak anak itu sendiri, dan seperti yang
sudah diratifikasikan pemerintah tepatnya pada tanggal 26 januari 1990 yang
lalu yang di adakan di New York Amerika Serikat yang telah di tegaskan bahwa:
1.
Tidak seorang anak pun dapat dirampas
kemerdekaannya secara melawan hukum atau secara sewenang-wenang;
2.
Setiap anak yang dirampas
kemerdekaannya akan dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan
dengan keluarganya;
3.
Setiap anak yang dirampas
kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan serta menentukan
dasar hukumnya.
Dan
berdasarkan keputusan tersebut maka anak anak mendapatkan perlindungan hukum
khusus untuk melindungi anak anak agar mereka tetap meraih hak haknya, dan
mereka dapat menjadi generasi muda penerus bangsa.
Pentingnya Penegakan Hukum Tentang Hak Dan Perlindungan Konsumen
Pemerintah Republik Indonesia telah mengatur
"Undang-Undang Hak Dan Perlindungan Konsumen" (baca disini) dan akan terus
mengoptimalkan peningkatan penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen dan
metrologi legal di Tanah Air Indonesia.
Kerjasama pihak terkait ini diharapkan dapat
meningkatkan stabilitas dan keterpaduan operasional dalam penanganan kasus
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dan metrologi legal yang dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perlindungan Konsumen(PPNS-PK), Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Metrologi Legal (PPNS-MET), yang didukung oleh
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kita perlu sadari betapa pentingnya
perlindungan pemerintah kepada warganya dalam kehidupan sehari-hari. Dan
sebagai warga kita harus pintar-pintar dalam hal memilih produk atau barang
yang akan kita pakai. Apakah itu memenuhi standar nasional untuk kita pakai
atau dikonsumsi, maka dari itu jadilah konsumen cerdas yang berpengalaman
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep
kedudukan whistle blower yang terdapat pada Amerika Serikat
sudah maju. Hal tersebut terlihat dari program kualifikasi yang diadakan
pemerintah Amerika Serikat demi mengklasifikasikan keurgensian kesaksian yang diberikan.
Dengan klasifikasi tersebut dapat ditentukan tindakan selanjutnya berupa bentuk
perlindungan yang bisa diberikan oleh negara. Tak hanya itu disediakan
pula lembaga atau komisi antara lain US Marshal Service,
Bureau of Prison[1] dan
badan-badan investigasi lainnya yang memberikan perhatian dan perlindungan
hukum bagi para saksi dan whistle blower termasuk keluarganya
juga. Perlindungan hukum bagi whistle blower dipandang
sangat penting melihat kondisi mafia hukum yang tersebar di setiap tahap
penegakan hukum dan bentuk perlindungan bagi whistle blower yang
masih abstrak.
Di
Indonesia, dari fakta yang terlihat whistle blower enggan
memberikan kesaksian di muka persidangan. Hal ini karena lemahnya perlindungan
hukum yang diberikan oleh negara bagi mereka dan keluarganya. Contoh kasus
tentang lemahnya perlindungan hukum bagiwhistle blower adalah kasus
mafia hukum dan kasus besar lainnya di Indonesia yang diungkapkan oleh
Komisaris Jenderal Susno Duadji. Namun demikian, Komjen Susno Duadji
tidak mendapat suatu perlindungan hukum khusus sebagai saksi atau whistle
blower sehingga banyak fakta-fakta mafia hukum yang kemudian tidak
jadi diungkapkan olehnya.
Setidaknya
ada tiga urgensi yang bisa diungkapkan pentingnya model Perlindungan hukum
bagi whistle blower dalam sistem peradilan Indonesia.
Pertama, Model perlindungan bagi whistle blower dalam sistem
peradilan di Indonesia diperlukan karena UU yang ada belum menjamin sepenuhnya
perlindungan bagi whistle blower. Kedua, Model perlindungan
bagi whistle blower dalam sistem peradilan di Indonesia sangat
penting untuk menjamin keselamatan bagi whistle blower dan
keluarganya. Ketiga, Peranwhistle blower sebagai
saksi kunci atau saksi pengungkap sangat dibutuhkan, apalagi dibongkarnya
kasus-kasus besar korupsi di Indonesia berkat bantuan dari whistle
blower.
Berdasarkan
fakta-fakta dan urgensi perlindungan bagi whistle blower dalam
sistem peradilan di Indonesia, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
permasalahan tersebut yaitu dengan mengadakan penelitian hukum dalam sebuah
karya tulis yang berjudul “Model Perlindungan Hukum bagi Whistle
Blower dalam Peradilan Pidana Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa whistle blower perlu
mendapatkan perlindungan dalam sistem peradilan pidana Indonesia?
2. Bagaimana bentuk perlindungan yang
tepat bagi whistle blower di dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia?
PEMBAHASAN
A. Perlunya
Perlindungan Hukum Bagi Whistle blower dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia
1.Pertanggungjawaban
Pidana Whistle blower sebagai Pelaku Kejahatan
Whistle
blower memiliki peranan dan arti
penting dalam membuka kasus-kasus pidana yang berangkaian atau berkaitan. Bahwa
suatu peristiwa pidana yang terjadi tidak hanya terjadi satu atau lebih tindak
kejahatan dan kesalahan namun dapat diinvestigasi lebih lanjut bahwa perbuatan
tersebut dapat ditarik hingga jauh ke belakang dalam rangka mengungkap fakta
kejahatan yang terjadi juga pelaku lainnya dengan bantuan whistle
blower dan teori Conditio Sine Quanon[2].
Peranan dalam membongkar suatu tindak pidana berada pada whistle blowersebagai cooperating
person.
Kedudukan
saksi ataupun whistle blower yang dengan kedudukannya tersebut
dapat sewaktu-waktu berganti menjadi pelaku akibat pengembangan dan pemeriksaan
lebih lanjut. Realita itu sejalan dengan asas yang selalu menjadi kekuatan dari
suatu sistem hukum yaitu asaspresumption of innocent. Konsekuensi logis
dari asas ini salah satunya adalah tidak menutup kemungkinan perluasan
pertanggungjawaban pidana pada saksi, maupun whistle blower bahkan
korban.
2. Kepentingan Individu whistle
blower vs Kepentingan Negara
Acapkali
seseorang yang disangka bersalah pada akhirnya mendapat hukuman meskipun orang
tersebut telah dengan berani memberikan kesaksiannya yang sangat dibutuhkan
dalam proses pemeriksaan. Dalam kondisi seperti itu suatu tindakan afirmasi
bagi whistle blower perlu diterapkan, mengingat “jasa”nya
kepada negara dengan memberikan kesaksian yang sangat penting. Tindakan
afirmasi berupa pengurangan hukuman yang semestinya diberikan kepadawhistle
blower yang terbukti bersalah dan harus mempertanggungjawabkan
kesalahannya bahkan whistle blower dapat dibebaskan dari segala tuntutan yang
ditujukan kepadanya meskipun dia dinyatakan bersalah dengan turut serta atau
terlibat tindak kejahatan. Diskriminasi pemidanaan tersebut merupakan reward
yang selayaknya diberikan oleh negara kepada whistle blower karena
kepentingan negara untuk mengungkap kasus besar dimana whistle blower telah
memberikan kontribusi nyata demi terungkapnya kasus serta tidak menyakiti rasa
keadilan sosial.
3. Kepastian Hukum melawan
Kemanfaatan
Ironi
ketika seorang whistle blower yang dengan kedudukannya mampu
memberikan manfaat besar bagi kepentingan negara dalam mengungkapkan segala
proses suatu tindak kejahatan yang terjadi tetapi demi aturan kepastian hukum
yang diagung-agungkan. Demi suatu kepentingan negara untuk memperlancar proses
peradilan pidana maka prinsip kepastian hukum dengan hukuman bagi seorang whistle
blower dapat dikesampingkan dengan alasan yang logis. Bahwa manfaat
dari pengakuan whistle blower untuk membantu proses
pengungkapan fakta kejahatan yang terjadi merupakan dasar argumentasi yang
dapat dipegang.
Berdasarkan
penjelasan sub bab di atas maka dapat diketahui bahwa berdasarkan teori
pemidanaan seorang whistle blower yang juga sebagai tersangka dalam artian
melakukan tindak pidana harus dihukum sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukan. Hal tersebut untuk menjamin kepastian hukum. Namun demikian, untuk
kepentingan negara yang lebih besar dan kemanfaatan hukum maka
kepastian hukum tersebut dapat dikesampingkan. Dalam artian bahwa, seorang
whistle blower yang juga terlibat tindak pidana bisa dibebaskan dari hukumannya
karena kepentingan negara untuk mengungkap kejahatan-kejahatan yang lebih besar
dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
B. Model
Perlindungan bagi Whistle blower
Bentuk
perlindungan berlapis bagi whistle blower antara lain:
1. Perlindungan yang Bersifat Represif
Bentuk
perlindungan represif meliputi perlindungan hukum yang diberikan terhadapwhistle
blower dalam segi antisipasi dari segala tindakan atau resiko yang
tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan esensi buku karya Mudakkar bahwa
perlindungan yang diberikan negara antara lain represif dan preventif.
Perlindungan yang diberikan dalam bentuk secara yuridis maupun fisik.
Sistem
perlindungan antisipasi atau represif dengan memanfaatkan lembaga atau badan
yang telah ada melalui penambahan bahkan menguatkan fungsi dan
kewenangan dari lembaga tersebut. Butuh suatu terobosan sebagai model
perlindungan baik pada saksi dan korban terutama whistle blower.
Suatu aktivasi lembaga ini sudah di nanti-nanti agar mampu memfasilitasi
perlindungan bagi whistle blower.
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah dibentuk pasca dikeluarkan
undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum
memberikan suatu jaminan perlindungan secara maksimal. Perlindungan baik dalam
bentuk fisik maupun hukum tidak terlaksana dengan efektif. Perlindungan hukum
tidak akan terlaksana jika tidak ada motor penggerak untuk mewujudkan suatu
jaminan perlindungan hukum, dengan begitu dibutuhkan lembaga atau badan yang
mampu melaksanakan.
Atas
nama suatu badan yang memiliki suatu AD/ART tersendiri dan tidak patut jika
dilakukan suatu intervensi pada lembaga tersebut. Good governance sebagai
asas yang merupakan dasar dalam menjalankan tugas dan kordinasi dari seluruh
lembaga bahwa tidak diperbolehkan suatu lembaga melakukan intervensi pada
lembaga lain. Untuk itu sebagai suatu lembaga, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban dapat menggunakan hak dan wewenangnya untuk menciptakan suatu
perlindungan hukum bagi whistle blower.
Di
sisi lain model koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau
LPSK dengan instansi lain dalam memberikan perlindungan hukum dapat digunakan
sebagai upaya preventif agar mampu menciptakan instrumen guna mengantisipasi
kemungkinan terburuk dalam kedudukan whistle blower. Asas-asas umum pemerintahan
yang baik menjadi dasar agar tercipta koordinasi yang harmonis demi kepentingan
negara sebagai kebutuhan publik. Dari sinergitas tersebut dapat dihasilkan
suatu program maupun kebijakan lembaga agar menciptakan suatu pembebasan dalam
pertanggungjawaban pidana yang dipikul (suatu kondisi ketika whistle
blower tersangkut kasus dimana ia juga menjadi saksi pengungkap
fakta).
Jenis
instrumen yang dapat dihasilkan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dengan lembaga lain misal Kejaksaan, melalui Kejaksaan Agung memunculkan suatu
kebijakan guna melindungi status whistle blower. Aplikasinya berupa
pembuatan ketentuan peraturan yang berisi penempatan whistle blower sebagai
bagian dari penuntut umum atau dari pihak kejaksaan. Sehingga demi kelangsungan
tugas dan keberhasilan mengungkap suatu kejahatan serta diperoleh
pertanggungjawaban dari diri pelaku maka dalam aturan tersebut dimunculkan
kekebalan hukum atau legal imunity dari segala upaya hukum
yang ditujukan padanya. Dalam ketentuan tersebut juga dicantumkan batasan
perlindungan hukum yang diberikan oleh keduanya, agar tidak timbul suatu chaos[3] ketika
terbit seorang whistle blower dengan segala ancaman yang
ditujukan.
Jenis
koordinasi lain melalui lembaga representasi masyarakat dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menempatkan klausula pengaturan seperti di
atas atasbinding power atau memiliki kekuatan hukum mengikat ketika
aturan yang demikian semakin dikembangkan oleh badan representatif masyarakat.
Bahwa whistle blower bukanlah seorang saksi maka pengaturannya
harus secara khusus dengan diaplikasikan pada kewenangan LPSK. Dengan begitu
tercipta suatu aturan yang lebih tinggi karena dihasilkan oleh lembaga yang
memiliki suara atas nama rakyat.
Klausul
tersebut memberikan dampak yang sangat obyektif bagi whistle blower dengan
sistem perlindungan hukum yang bertaraf legal national. Implikasi
yuridis yang timbul bahwa lex specialis derogat legi generalle dan lex
superior derogat legi inferiori. Pengaturan yang dilakukan koordinasi
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan masih di bawah
pengaturan yang dihasilkan pengaturan oleh legislatif nasional. Pengaturan ini
diharapkan mampu memberikan pengamanan bagi seorang whistle blower demi
kedudukan dan status hukum.
Selanjutnya
penguatan di tubuh Lembaga Saksi dan Korban juga perlu diteguhkan agar tidak
terombang-ambing dalam suatu kondisi yang tidak pasti pada suatu saat terjadi
kemungkinan yang buruk manipulasi dari berbagai pihak. Badan ini rawan suatu
tindakan yang mal administrasi dan tersusup tindakan politik hukum yang
merongrong kedudukan whistle blower. Sisi yang perlu ditingkatkan
kekuatannya antara lain sumber daya manusia yang lebih profesinal dan capability,
kekuasaan mandiri dan instrumen hukum yang jelas dan terakui aplikasinya.
2. Perlindungan yang Bersifat Represif
Bentuk
perlindungan selanjutnya berupa penerapan Restorative justice yang
termodifikasi. Restorative justice bertujuan untuk mewujudkan
pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat berkepentingan
(stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus
pada mengadili dan menghukum pelaku.[4] Stakeholderdisini
antara lain saksi, whistle blower dan masyarakat yang mungkin
dirugikan.
Proses
peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan
keadilan bukan urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu
harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan
kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakatnya.[5]
Mekanisme restorative
justice termodifikasi digunakan sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia karena konsep restorative justice yang ada jika
diterapkan maka dapat mengakibatkan efek negatif tanpa mempedulikan karakter
bangsa ini. Modifikasi yang dilakukan pada tahap peradilan pidana maupun konsep
bentuk perlindungan bagi whistle blower. Tahapan proses peradilan
pidana Indonesia sudah waktunya untuk direvisi demi tuntutan tujuan hukum yang
memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi keseluruhan pihak.
Tahap
proses peradilan yang akan direvisi dalam bentuk menambahkan ataupun mengganti
tahap yang sudah selayaknya untuk dimodifikasi. Pertama akan ditambahkan proses
permulaan peradilan sehabis dilakukan penyidikan namun sebelum masuk ke proses
penuntutan berupa proses untuk mempertemukan para pihak (stakeholder)
baik pelaku,korban maupun kelurga korban, saksi maupun whistle blower sampai
masyarakat kolektif yang memiliki kepentingan di dalamnya. Proses ini bisa
disebut istilah mediasi dalam proses peradilan perdata ataupun dismissal proses
dalam bidang peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam
proses permulaan tersebut dapat disepakati bahwa baik pihak keluarga
korban,korban,saksi , masyarakat kolektif dan pelaku untuk tidak meneruskan
kasus kejahatan sampai pada tahap penuntutan. Yang terpenting disini adalah
kepentingan para pihak akhirnya mampu lebih banyak diakomodir dan bisa
menciptakan kemanfaatan bagi para pihak.
Proses
selanjutnya yang sebaiknya ditambah dalam sistem peradilan pidana Indonesia
adalah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi seorang whistle
blower. Kelonggaran yang bisa diberikan dalam sistem peradilan pidana ini
bisa berupa tidak diambil sumpah dalam keterangan whistle blower.
Untuk menguatkan hal tersebut juga perlu suatu instrumen hukum sebagai payung
hukum adanya perlindungan tersebut agar muncul legalitas dalam pengaturan suatu
mekanisme beracara di peradilan pidana.
Konsep restorative
justice terekstrim adalah dalam hal perundangan yang mengatur.
Kemungkinan yang terjadi adalah revisi klausul dalam Undang-undang nomor 13
tahun 2006 yang memang sesuai perkembangan beberapa tahun belakangan sudah
terdapat beberapa hal baru yang tidak dapat diakomodir dengan undang-undang
tersebut. Kemungkinan kedua dan yang terberat adalah membuat undang-undang baru
yang mengatur tentang whistle blowersehingga muncul payung hukum
bagi perlindungan hukumnya.
[2] Teori
ini merupakan landasan untuk mencari suatu kesalahan yang terdapat dalam suatu
tindak pidana jauh ke belakang sehingga didapatkan titik terang perbuatan
pidana tersebut dan individu yang harus mempertanggungjawabkan.
[3] Peter
Salim. The Contemporary English – Indonesian Dictionary.ed
8.2002(Jakarta:Modern English Press), hal 314. Lihat juga Satjipto Rahardjo
Chaos ialah keadaan kacau balau.
A. Kesimpulan
1. Status hukum dari seorang whistle
blower tidak berhenti hanya sebatas whistle blower saja,
suatu saat kedudukan tersebut dapat berubah menjadi seseorang harus dimintai
pertanggungjawaban. Sesuai teori kepentingan negara melawan kepentingan
individu, bahwa demi menunjang kepentingan negara dalam mengungkapkan suatu
kejahatan whistle blowersebagai individu dapat dilepaskan dari
bentuk pertanggungjawaban. Dengan demikian atas kepentingan negara,tujuan hukum
berupa kemanfaatan maka perlu dibuat perlindungan hukum bagi whistle
blower. Walaupun dari segi tujuan hukum kepastian hukum, apa-apa
yang telah dilakukan whistle blower dan perlu dimintai
pertanggungjawaban maka haruslah ditindak secara tegas pertanggungjawaban.
2. Model
perlindungan hukum yang aplikatif dalam melindungi kepentingan whistle
blower antara lain yang bersifat represif dan preventif. Perlindungan
yang bersifat represif berupa aktivasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
sedangkan perlindungan yang bersifat preventif berupa revisi tahapan proses
peradilan pidana di Indonesia dan pembentukan undang-undang yang secara khusus
mengatur perlindungan hukum bagi whistle blower.
B. Saran-Saran
1. Whistle blower sebagai
saksi kunci harus mendapat reward atas jasa mengungkapkan
fakta kejahatan dan telah berperan sebagai cooperating person dalam
proses peradilan pidana. Reward dalam bentuk perlindungan hukum berupa
pembebasan pertanggungjawaban ketika seorang whistle blower ternyata
dalam pengembangan penyidikan ditemukan bukti bahwawhistle blower bersalah.
2. Pengaturan
tentang perlindungan hukum bagi whistle blower harus diatur
secara legal sesuai dengan perkembangan restorasi hukum guna
menciptakan keadilan sosial bagi seluruhstakeholder dan sebagai
tujuan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Adami,Chazawi.2002.Pelajaran
Hukum Pidana 1.Jakarta.Raja Grafindo Persada
Artidjo,Alkostar.2007.”Restorative
Justice”.Jurnal Varia Peradilan Majalah Hukum tahun ke-XXII no.262.Jakarta.IKAHI
Friedrich,Carl
Joachim(terjemahan Raisul Muttaqien).2010.Filsafat Hukum Perspektif Historis.Bandung.Nusa
Media
Leopold,Luhut
Hutagalung.2009.”Kontroversi Penerapan Pasal 2 UU PTPK (Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU NO.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
no.20 tahun 2001)”.Jurnal Varia Peradilan Majalah Hukum tahun
ke-XXII no.262.Jakarta.IKAHI
Muhadar,Edi
Abdullah,Husni Thamrin.2009.Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem
Peradilan Pidana.Surabaya.CV. Putra Media Nusantara
Peter
Mahmud marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media. Jakarta.
Sudarto.1990.Hukum
Pidana 1.Semarang.Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip Semarang
Wirjono,Prodjodikoro.2002.Asas-asas
Hukum Pidana Di Indonesia.Bandung.Refika Aditama Bandung
Undang
– Undang :
K
U H P
Undang
– Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang
– Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Internet :
http://prasxo.wordpress.com/2011/02/17/definisi-perlindungan-hukum/.Diakses pada 2 Mei 2011. Pukul:13.20
http://www.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2027069-pengertian-sistem-peradilan-pidana/#ixzz1LQropZNa.Diakses pada
2 Mei 2011.Pukul: 13.24
Carl Joachim Friedrich.1969.hal
110.Filsafat Hukum:Perspektif Historis.Diakses pada 2 Mei 2011.Pukul:12.30
David Bear.Establishing A Moral Duty
to Obey the Law Through A Jurisprudence of Law and Economics.Diakses pada 5 Mei
2011.Pukul 14.53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar