Selasa, 24 Maret 2015

skripsi hak asasi manusia



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri
Di era reformasi pasca runtuhnya  rezim orde aru, pemerintah Indonesia dituntut agar dalam setiap pengambilan kebijakan yang ditempuhnya, harus selalu memperhatikan nilai-nilai demokrasi, yang terkandung di dalamnya adalah penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat). Di dalam pelaksanaan prinsip negara hukum berarti segala tindakan anggota-anggota masyarakat, apa lagi pemerintah tidak dapat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.
Pada hakekatnya tujuan pembentukan hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan substansi dan jiwa hukum, sehingga secara filosofis segala ketentuan-ketentuan yang tidak bernuansa perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
Indonesia di era reformasi ini, termasuk negara yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Ini dapat dilihat hasil amandemen atau perubahan kedua Undang-Undang Dasar Tahun 2000 disingkat UUD 1945 yang memperluas dan merinci tentang penghargaan HAM, yaitu Bab XA terdiri atas sepuluh pasal (Pasal 28A-28J).
Adanya instrument dan institusi secara nasional (hukum nasional) tentang Hak Asasi Manusia (HAM)tidak berarti secara pasti dapat dikatakan perlindungan terhadap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sudah terjamin. Di dalam Pasal 35 UUPHAM dinyatakan bahwa setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Akan tetapi kenyataannya, terhadap kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, dalam hal ini pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu (pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi sebelum terbentuknya UUPHAM), belum ada korban atau ahli warisnya yang memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Belum ada usaha secara optimal yang memenuhi rasa keadilan bagi korban untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melalukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di pengadilan, misalnnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Kasus Trisaksi dan Semanggi I/II. Hal ini disebabkan dalam proses penyelidikan masih adanya perbedaan di kalangan institusi yang berwenang menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, utamanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus Trisakti dan Semanggi I/II yang proses hukumnya harus melalui pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc.

B.    Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.      Pengertian dan ruang lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
  1. Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
  2. Hukum Acara Yang Berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
  3. Kronologis dan Analisis Kasus Trisakti dan Semanggi I/II dan Kendala Penyelesaiannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
Ruang lingkup pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) sangat luas, karena persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dibatasi oleh sekat-sekat suku, agama dan ras, termasuk sekat wilayah negara, sosial, politik, dan hukum karena Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak mendasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia tanpa melihat adanya sekat atau perbedaan tersebut.
The Universal Declaration of Human Right (DUHAM) atau pernyataan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) se dunia diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, dalam deklarasinya dikatakan bahwa Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ini sebagai suatu dasar pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan negara. Tujuannya agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa berusaha untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan dengan jalan mengambil tindakan progresif yang bersifat nasional dan internasional.
Menurut Aswanto mengemukakan bahwa ruang lingkup dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi bahan perdebatan di kalangan pemikir dan politisi. Beberapa teoritis Hak Asasi Manusia (HAM) berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya dibatasi hanya pada hak-hak politik dan sipil saja.
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman yang berkembang  di setiap negara. Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan pemahaman liberal yang banyak dianut oleh negara Barat seperti Amerika Serikat, merupakan konsep atas reaksi terhadap sistem pemerintahan yang bersifat abolut. Oleh karena itu dalam proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat tersebut sangat jelas ditegaskan untuk menjunjung tinggi hak-hak individu (kemerdekaan dan pemilikan). Dimana hal tersebut berbeda dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) menurut paham sosialis yang menekankan makna Hak Asasi Manusia (HAM) pada hak-hak kemasyarakatan.
Sedangkan Scheltens membedakan dua pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu : Pertama, Mensenrechten adalah hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia. Kedua, grondrechten adalah hak yang diperoleh setiap warga negara sebagai konsekuensi ia menjadi warga negara dari suatu negara.
Salah satu definisi Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencerminkan nilai universal dikemukakan oleh Wignjosoebroto bahwa  Hak asasi manusia adalah hak-hak moral yang melekat secara kodrat pada setiap makhluk yang bersosok manusia, demi terjaganya harkat dan martabat manusia itu sebagai makhluk ciptaan Allah.
Adapun pengertian HAM yang tercantum dalam UUHAM dan UUPHAM masing-masing pada Pasal 1 angka 1 dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sementara dalam DUHAM Tahun 1948 pengertian dan pembagian Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selanjutnya, manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat.
Bila dianalisis isi DUHAM ini, maka klasifikasi penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) terdiri atas hak-hak sosial ekonomi yuridis, sehingga setiap orang dituntut untuk menghormati hak-hak tersebut. Jadi ruang lingkup HAM bukan hanya terbatas hak-hak sipil dan politik saja, melainkan juga meliputi hak sosial, ekonomi dan budaya.

B.    Perkembangan Hak Asasi di Indonesia
a.      Kemajuan Yang Dicapai Dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Setelah amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi Manusia dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin pesat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang diratifikasi dan diadopsi oleh peraturan perundang-undangan nasional kita.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, masalah perlindungan hak-hak wanita dan hak-hak anak ternyata telah mendapat perhatian yang lebih besar.  Undang-undang ini telah mengadopsi beberapa pasal dari konversi tentang hak-hak wanita dan konvensi tentang hak-hak anak ke dalam pasal-pasalnya yaitu sebagai berikut :


1.      Hak – hak Wanita, diatur dalam 7 pasal diantaranya :
Pasal 45    :   Hak wanita dalam undang-undang ini adalah Hak Asasi Manusia
Pasal 46    :   Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislative, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47    :   Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya, tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Dari beberapa pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak wanita yang sudah diakui dan diberi jaminan perlindungan hukum oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a.      Hak keterwakilan wanita di bidang eksekutif, legislatif
b.      Hak untuk menentukan status kewarganegaraannya sendiri dalam kehidupan rumah tangga

2.      Hak-Hak anak diatur dalam 15 pasal, diantaranya :
Pasal 52
Ayat 1     :   Setiap anak berhak atas perlindungan  oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara
Ayat 2     :   Hak anak adalah Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingannya, hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.


Pasal 53
Ayat 1     :   Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Ayat 2     :   Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama status kewarganegaraan.
Pasal 54        :    Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 55        :    Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Dari beberapa pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak anak yang sudah diakui dan diberi jaminan perlindungan hukum oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada dasarnya :
a.      Hak untuk dapat perlindungan dari orang tua, masyarakat dan negara.
b.      Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan dirawat mereka
c.      Hak untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristirahat, bergaul dan berintegrasi dengan lingkungannya.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak-hak wanita dan hak-hak anak adalah merupakan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, hak-hak wanita dan hak-hak anak perlu diakui dan mendapat perlindungan oleh hukum. Apalagi bila diingat bahwa hak-hak wanita dan hak-hak anak lebih banyak menyangkut hubungan dalam keluarga dan masyarakat dan merupakan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

b.      Perkembangan Melalui Instrumen Hukum dan Kelembagaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat lima pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia yaitu pasal 27 sampai dengan pasal 31. Apabila kita bandingkan dengan konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 ternyata kedua konstitusi tersebut lebih maju dalam mengatur Hak Asasi Manusia. Hal ini merupakan akibat dari dideklarasikannya Universal Declaration of Human Right oleh Perseikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 yang telah mempengaruhi kedua konstitusi tersebut.
Dalam rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia 1998 – 2003 telah ditetapkan program kegiatan antara lain :
a.      Menetapkan beberapa perangkat (instrument) internasional Hak Asasi Manusia yang perlu mendapat prioritas untuk segera diratifikasi berdasarkan rekomendasi dari institusi pemerintah dan LSM.
b.      Harmonisasi perundang-undangan nasional.
Harmonisasi perundang-undangan nasional di bidang Hak Asasi Manusia, dilakukan antara lain dengan merevisi perundang-undangan yang berlaku dan merancang undang-undang yang baru sesuai isi instrument internasional Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi.
Dalam upaya pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, disamping diperlukan instrumen hukum, baik instrument hukum internasional (berupa konvensi) maupun instrument hukum nasional (berupa peraturan perundang-undangan), juga diperlukan instrument yang bersifat kelembagaan.
Dalam perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia, melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1993, pada yanggal 7 Juni 1993 telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, kedudukan dan independensi Komnas HAM semakin kuat, tidak lagi terkesan sebagai alat pemerintah.
Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk :
a.      Mengembangkan kondisi dan kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
b.      Meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan beberapa fungsi sebagai berikut :
a.      Pengkajian
b.      Penelitian
c.      Penyuluhan
d.     Pemantauan
e.      Mediasi tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut ketentuan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang atau sekelompok orang berhak mengajukan laporan dan pengaduan baik secara lisan maupun tertulis kepada Komnas HAM, apabila memiliki alasan yang kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar. Pengaduan tersebut hanya akan dilayani apabila disertai identitas pengadu yang benat dan disertai keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pihak pengadu, korban, saksi atau pihak lainnya yang terkait dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia wajib memenuhi permintaan Komnas HAM. Apabila pihak-pihak tersebut tidak memenuhi pemanggilan atau menolak memberi keterangan, maka Komnas HAM dapat meminta ketua pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.     Hukum Acara Yang Berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia
a.      Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Muka Sidang
1.      Tahap Penyidikan
Menurut ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk tim Ad Hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Dalam melakukan penyelidikan, penyelidik berwenang melakukan hal-hal berikut :
a.      Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
b.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mecari keterangan dan barang bukti.
c.      Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
d.     Memanggil saksi untuk dimintai keterangan dan didengarkan keterangannya.
e.      Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f.       Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
g.      Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1)      Pemeriksaan surat
2)      Penggeledahan dan penyitaan
3)      Pemeriksaan di tempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu.
4)      Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
Pada saat mulai penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, penyelidikan memberitahukan hal tersebut kepada penyidik. Sesudah melakukan penyelidikan, apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, telah terjadi peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
Menurut ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pemeriksaan pelangagaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM. Apabila seseorang yang dipanggil oleh Komnas HAM tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan,  Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan yang bersangkutan untuk pemenuhan panggilan secara paksa, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.      Tahap Penyidikan
Menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Udnang Nomor 26 Tahun 2000, kewenangan penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat ditangan Jaksa Agung. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan apakah Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan penyidikan ini kepada jaksa-jaksa lain yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Negeri dimana pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu terjadi.
Oleh karena itu, sebaiknya kewenangan penyidikan yang ada di tangan Jaksa Agung dapat dilimpahkan setidak-tidaknya kepada Jaksa Tinggi di daerah mana yang telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut ketentuan undang-undang ini Jaksa Agung dapat mengangkat Penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Yang dimaksud unsur masyarakat dalam hal ini adalah organisasi politik, organisasi kemasyarakatan yang lain, seperti perguruan tinggi.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc adalah sebagai berikut :
1.      Warga negara Republik Indonesia
2.      Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun.
3.      Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.
4.      Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
5.      Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
6.      Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
7.      Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan, dan penahanan untuk kepentingan penyidikan, terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup.
Penyidikan wajib diselesaikan penyidik paling lambat dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap dan penyidik. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan daerah hukumnya.

3.      Tahap Penuntutan
Menurut ketentuan Pasal  23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, penuntutan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat ”penuntut umum ad hoc” yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat sesuai kebutuhan, dengan syarat sebagai berikut :
1)      Warga negara Republik Indonesia
2)      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3)      Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun
4)      Berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum.
5)      Sehat jasmani dan rohani
6)      Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
7)      Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
8)      Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Menurut ketentuan pasal 24 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, penuntutan wajib dilaksanakan oleh penuntut umum paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak hasil penyidikan diterima. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum dapat menahan terdakwa paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumnya.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik dan penuntut umum Jaksa Agung tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan, karena hal ini merupakan kewenangan dari Komna HAM.

4.      Pemeriksaan di Muka Sidang Pengadilan
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh  Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari, terhitung sejak perkara dilimpahkan kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan.
Apabila perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia sesuai dengan daerah hukumnya.
Selanjutnya apabila perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan Kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut harus sudah diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara tersebut dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari dan diperpanjang 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.

b.      Perlindungan Korban dan Saksi
Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat telah diberlakukan Undang-Undang Perlindungan Korban dan Saksi yang memberikan jaminan perlindungan kepada korban dan saksi, tidak saja dalam perkata pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga dalam perkara pidana biasa. Jaminan perlindungan ini sangat penting mengingat peranan keterangan saksi, baik saksi korban dan saksi lainnya, sangat besar dalam memutus suatu perkara. Perlindungtan itu tidak saja berupa perlindungan secara fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan tindak kekerasan, tetapi juga berupa jaminan kesejahteraan untuk korban dan saksi, baik berupa pemberian pekerjaan dan jaminan kehidupan.
Di negara kita sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan korban dan saksi seperti di Amerika Serikat. Yang ada adalah perlindungan korban dan saksi dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Perlindungan terhadap korban dan saksi wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Di negara kita jangankan perlindungan terhadap korban dan saksi, terhadap aparat penegak hukum saja sulit diwujudkan.

c.      Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Menurut penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dijelaskan sebagai berikut :
1.      Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
2.      Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa :
a.      Pengembalian hak milik
b.      Pembayarann ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau
c.      Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
3.      Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.


d.     Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
1.      Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
Pengadilan Hak Asasi Manusia, tidak menganut “asas retroaktif” maka pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terutama di masa pemerintahan orde baru terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat diantaranya adalah Tragedi Trisakti Semanggi I/II dimana kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut telah memakan banyak korban jiwa dan dilakukan tidak saja oleh penguasa terhadap mahasiswa tetapi juga terjadi antara penguasa dan penduduk sipil.
Untuk mengatasi hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, melalui Pasal 43, menghendaki dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manuia Ad Hoc yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini diundangkan. Walaupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengatur tentang Susunan Majelis Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, cara-cara serta pengangkatan hakimnya dalam pelaksanaannya dapat mengacu pada ketentuan yang  berlaku bagi majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia di tingkat kasasi. Tetapi untuk mencegah terjadinya kerancuan sebaiknya hal ini diatur secara tersendiri dalam suatu peraturan per undang-undangan.
Untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah selesai atau sedang dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

2.      Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Menurut ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dilakukan oleh suatu komisi yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Penyelesaian perkara hak asasi manusia yang berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat mendatangkan banyak manfaat, antara lain proses penyelidikan penuntutan dan penyidangan tidak akan berlarut-larut dan dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal tersebut dapat dicapai apabila Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat seobjektif mungkin dan seadil-adilnya sehingga dapat diterima oleh semua pihak yang terkait. Oleh karena itu anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut harus terdiri dari orang-orang yang betul-betul mempunyai integritas moral yang tinggi, mempunyai pengetahuan dan kepedulian terhadap hak asasi manusia dan bebas dari keterkaitan masa lalu (masa pemerintahan orde baru).
Melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi kita berharap perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terutama yang terjadi di masa lalu dapat segera dituntaskan, dengan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mendesak untuk segera membuat undang-undang tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

D.   Kronologis dan Analisis Kasus Trisakti dan Semanggi I/II dan Kendala Penyelesaiannya
a.      Kronologis dan Analisis Kasus Trisakti
Akibat jatuhnya perekonomian Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997, mengakibatkan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) pada bulan Maret 1998 untuk memilih pemerintahan yang baru, dipandang sangat menentukan masa depan Indonesia selanjutnya. Akan tetapi walau ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat dan demonstrasi mahasiswa, MPR-RI tetap memilih dan menetapkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk kelima kalinya. Kenyatan itulah yang mendorong para mahasiswa untuk terpanggil menyelamatkan bangsa dari kritis dengan jalan demonstrasi besar-besaran dengan harapam suara mereka didengarkan.
Keadaan semakin memanas sejak sebelum dilaksanakannya Sidang Umum MPR-RI sampai dengan terpilihnya kembali Soeharto. Hampir setiap hari mahasiswa melakukan demonstrasi yang menurut persepsi militer dapat mengancam ketahanan nasional, apalagi para mahasiswa sudah mulai berani turun ke jalan-jalan menyuarakan aspirasinya. Konsep reformasi yang dikumandangkan para mahasiswa, bukan hanya pergantian kepemimpinan bangsa tetapi juga adanya perubahan, akhlak, moral dan mental dari pemerintahan orde baru yang menumbuhkan perilaku Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Menurut Affan Gaffar, tuntutan reformasi dalam bidang politik yaitu sebuah pemerintahan yang bersih, berwibawa dan demokratik yang diharapkan mampu mewujudkan cita-cita keadilan sosial di masa-masa mendatang. Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang kebanyakan berasal dari golongan menengah ke atas, yang dipandang tidak peka terhadap situasi krisis ekonomi yang melanda rakyat Indonesia, akhirnya ikut pula turun ke jalan. Menurut Ketua SMUT (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti), Julianto Hendro Cahyono, sebelum sidang MPR-RI tahun 1997, mahasiswa Universitas Trisakti sudah mulai bergerak, saat itu para mahasiswa yang dipelopori oleh beberapa ketua organisasi kemahasiswaan, sudah mulai mengadakan aksi dengan membagi-bagikan pamplet dan bunga mawar pada pengguna jalan di depan Terminal Bus Grogol untuk menyadarkan masyarakat mencintai rupiah. Kemudian ditindak lanjuti aksi membagi-bagikan sembako di daerah Grogol dan sekitarnya bekerja sama dengan Ikatan Kekeluargaan Alumni Trisakti (Ikasakti).
Mahasiwa Trisakti menuntut diadakannya reformasi ekonomi dan politik, dimulai dengan pola aksi orasi dalam kampus dengan tujuan untuk menggalang kesatuan visi tentang isu gerakan mahasiswa mengenai pembentukan “Indonesia Baru”, tidak lain karena para tokoh mahasiswa menyadari bahwa di kalangan mahasiswa Universitas Trisakti sendiri memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi permasalahan bangsa Indonesia saat itu.
Menurut Julianto Hendro Cahyono, bahwa mahasiswa Universitas Trisakti dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yang masing-masing mempunyai ciri sebagai berikut :
1.      Mahasiswa yang sudah matang dan mengerti keadaan bangsa dan negara, sudah sering ikut diskusi di luar dan di forum-forum yang sifatnya kritis.
2.      Mahasiswa yang sudah mengerti keadaan seperti ini tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana menyalurkan aspirasinya, dan
3.      Mahasiswa yang hanya  memikirkan dirinya sendiri, hanya kuliah, pulang, melakukan kegiatan pribadi, bias dikatakan tidak peduli dengan keadaan sekarang dan apa yang terjadi di masyarakat.
Aksi mimbar mahasiswa Universitas Trisakti selain bertujuan menyatukan isu gerakan dan untuk memotivasi idealisme pergerakann secara keseluruhan mahasiswa, juga bertujuan untuk  menjadi sarana untuk mendapatkan dukungan dari unsur pimpinan universitas. Hasil dan tujuan tersebut dibuktikan ketika SMUT mengeluarkan penyataan sikap untuk mengkritis kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga bahan bakar minya, tarif angkutan umum dan listrik yang menyengsarakan rakyat, serentak para mahasiswa Universitas Trisakti menyatukan sikapnya berjuang menuntut reformasi total, termaktub didalamnya tuntutan agar Soeharto segera turun dari tahta sebagai Presiden Republik Indonesia yang didudukinya selama 32 tahun. Dan saat sikap mahasiswa menyatu, para pimpinan Universitas Trisakti tidak kuasa lagi menghindar untuk tidak memberikan dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan para mahasiswanya.
Puncak aksi solidaritas mahasiswa bersama dan para pimpinan Universitas Trisakti terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Setelah melakukan aksi mimbar  bebas di kampus, saat siang hari para mahasiswa bergerak dari arena kampus di Grogol menuju Gedung DPR MPRI RI di Senayan, tetapi pada saat perjalanan di kawasan Slipi mereka dihadang oleh ratusan aparat kepolisian yang mengharuskan mereka kembali ke kampus. Setelah terjadi negosiasi berkepanjangan akhirnya mahasiswa memutar haluan untuk kembali ke kampus dengan kawalan ratusan aparat kepolisian dan militer yang berjaga-jaga di depan kampus.
Pada saat sore harinya menjelang magrib, tiba-tiba kerumunan massa mahasiswa serentak berhamburan akibat dilakukannya tindakan serangan fisik dan serentetan penembakan oleh aparat keamanan. Kemudian pada malam harinya diketahui, bahwa ada empat orang mahasiswa yang meninggal dunia dan puluhan mahasiswa serta masyarakat umum lainnya yang ikut bersimpati dengan gerakan mahasiswa, dibawa lari ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang intensif karena terluka.
Akibat perlakuan anarkis aparat keamanan itu, sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari tanggal 13 Mei 1998, masyarakat umum yang kecewa dan tidak menerima perlakuan aparat itu kemudian mengamuk dan melakukan pengrusakan sejumlah fasilitas umum dan pusat pertokoan di daerah Grogol hingga menyebar ke seluruh wilayah Jakarta sehingga menciptakan suasana geger dan mencekam. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998.
Dari kronologis Tragedi Trisakti tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan aparat keamanan dalam menangani aksi massa dalam bentuk mimbar bebas di kampus Universitas Trisakti tidak melalui proses pendekatan persuasive tetapi dilakukan dengan sikap represif yang kemudian menimbulkan kepanikan pada mahasiswa untuk melakukann perlawanan, sehingga menimbulkan ketegangan dan keributan massa, yang kemudian oleh aparat keamanan justru dihadapi secara emosional sebagaimana menghadapi musuh di medan perang yang akan mengancam keutuhan nasional.
Atas prahara yang memilukan bangsa Indonesia di Kampus Trisakti ini, menimbulkan reaksi beragam dari kalangan baik tokoh masyarakat bahkan dari kalangan pemerintahan sendiri. B.J. Habibie serta merta menyampaikan belasungkawa sekaligus menyatakan keprihatinan mendalam. Sementara dari kalangan militer ucapan belasungkawa disampaikan oleh Jenderal Wiranto yang menyatakan penyesalan atas terjadinya tragedi tersebut sekaligus berjanji akan melakukan pengusutan secara tuntas atas insiden itu.
Amien Rais, tokoh yang ikut langsung dalam perjuangan gerakan reformasi untuk menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan secara tegas mengutuk keras tindakan brutal aparat keamanan dalam penanganan unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti itu. Amin Rais menyatakan bahwa dari sudut pandang apapun, baik dari segi agama, moral dan nilai-nilai Pancasila, tindakan kekerasan aparat keamanan seperti itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

b.      Kronologis dan Analisis Kasus Semanggi I dan  II
Kasus Trisakti yang menyebabkan meninggalnya empat orang mahasiswa, kemudian menjadi factor pemicu bagi mahasiswa lainnya di seluruh Indonesia untuk terus berjuang menumbangkan kekuasaan orde baru yang dicap oleh mahasiswa sebagai rezim yang otoriter.  Puncaknya gelombang unjuk rasa mahasiswa melakukan pendudukan Gedung MPR/DPR – RI selama kurang lebih empat hari berturut-turut mulai tanggal 18 Mei 1998 sampai dengan tanggal 21 Mei 1998 bertepatan di saat Soeharto mengeluarkan pernyataan mengundurkan diri dan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.
Meskipun Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, tetapi bukanlah babak akhir dari perjuangan para mahasiswa untuk mengakhiri gerakannya, pernyataan agar Soeharto segera mundur dari jabatannya, hanyalah dijadikan sebagai momentum awal untuk memasuki perjuangan berikutnya, yaitu melakukan perubahan menyeluruh pada semua pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan sistem politik, sosial dan ekonomi serta pola hubungan antara rakyat dan negara yang sebelumnya pada masa pemerintahan orde baru menggunakan sistem top down (kebijakan dari atas ke bawah), menuju pada pola bottom up (kebijakan dari bawah ke atas).
Harapan untuk melakukan berbagai perubahan pasca Soeharto, menjadi konsekuensi tanggung jawab Habibie. Akan tetapi eksistensi Habibie yang menggantikan Soeharto menimbulkan kontroversi, karena dianggap hanya merupakan presiden transisi, sehingga harus dilakukan Sidang Istimewa MPRI RI untuk menetapkan presiden yang betul-betul memiliki legitimasi sesuai dengan perundang-undangan dan keinginan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi kontroversi ini, maka dua bulan setelah Habibie menjabat sebagai Presiden RI, MPR-RI kemudian mengeluarkan Ketetapan Nomor X tertanggal 22 Juli 1998, yang berkaitan dengan penetapan waktu penyelenggaran Sidang Istimewa MPR-RI pada tanggal 10-13 November 1998. Lahirnya ketetapan MPR RI ini menjadi pemicu meningkatnya lagi demonstrasi mahasiswa di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Banten, Semarang dan Makassar. Inti demonstrasi mahasiswa adalah untuk menolak Sidang Istimewa yang akan digelar tersebut dan meminta B.J. Habibie agar segera mengantisipasi krisis ekonomi yang telah menimbulkan beban masyarakat.
Demonstrasi massa mahasiswa terus berlanjut hingga akhir pelaksanaan Sidang Istimewa MPR RI pada tanggal 13 November 1998 dan pada hari dan tanggal itu pulalah terjadi peristiwa yang dikenal dengan Kasus Semanggi I.
Dalam penanganan aparat keamanan terhadap demonstrasi mahasiswa dan massa lainnya di Semanggi saat menjelang dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPRI RI sungguh suatu tindakan yang sangat represif, dibuktikan dengan banyaknya jumlah korban dari kalangan masyarakat sipil, baik yang luka-luka maupun yang meninggal dunia. Korban yang jumlahnya 109 orang dalam kasus yang disebut Peristiwa Semanggi I ini adalah korban-korban yang disebabkan penganiayaan dan penembakan aparat keamanan pada saat mereka melakukan demonstrasi untuk menolak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR RI. Korban Semanggi I, tidak saja dari kalangan mahasiswa atau rombongan massa lainnya yang berhubungan dengan penolakan sidang istimewa, tetapi juga sejumlah anggota masyarakat yang berada dan atau sedang bekerja di sekitar tempat dan waktu kejadian peristiwa. Diantaranya termasuk para pekerja kemanusiaan dan wartawan peliput berita yang berada di tempat itu ketika aparat keamanan melakukan penghadangan dan pembubaran paksa demonstrasi massa.
Setelah terjadinya huru hara Semanggi I, kejadian serupa kembali terulang di tempat yang sama, meskipun dengan momen demonstrasi yang sudah berbeda. Kejadian tersebut pada tanggal 7 – 24 September 1999, saat rombongan demonstrasi mahasiswa menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Demonstrasi ini juga akhirnya menimbulkan banyak korban, sehingga peristiwa ini pula dikenal dengan nama Tragedi Semanggi II.
Model aparat keamanan terhadap setiap demonstrasi mahasiswa, jelas menggunakan security approach yang cenderung menimbulkan dampak pengabaian akan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, sehingga hamper disetiap momen demonstrasi terjadi banyak korban, baik yang luka mau pun yang meninggal dunia. Banyaknya korban yang jatuh disebabkan penganiayaan dan penembakan yang baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap Peristiwa Semanggi II. Dikatakan berhubungan tidak langsung, karena demonstrasi penentangan RUU PKB bukan hanya di sekitar lokasi Semanggi saja, tetapi aksi yang sama berlangsung juga di Bandung.
Demonstrasi besar-besaran yang merupakan reaksi atas diajukannya RUU PKB melalui Menkopolkam yang saat itu dijabat Jenderal Faisal Tandjung akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 24 September 1999, pemerintah melalui Kapuspen ABRI, Mayjen TNI Sudrajat, mengumumkan penundaan pembahasan pemberlakuan RUU PKB.

c.      Kendala Penyelesaian
Pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime yang proses penyelesaiannya tidak tunduk pada pengadilan biasa tetapi pengadilan khusus, yaitu Pengadilan HAM. Akan tetapi perlu ditegaskan kembali bahwa yurisdiksi (kewenangan) mengadili pelanggaran HAM berat pada pengadilan HAM sesuai yang tercantum dakam UUPHAM ada dua jenis pengadilann yaitu :
Pertama, Pengadilan HAM (Permanen) yang mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah terbentuk UUPHAM (Pasal 4 UUPHAM). Kedua, Pengadilan HAM Ad Hoc, melakukan proses hukum terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum terbentuk UUPHAM (Pasal 43 UUPHAM). Oleh karena kasus Trisakti dan Semanggi I/II terjadi tahun 1998 dan 1999 setelah UUPHAM terbentuk pada tahun 2000, maka proses penyelesaian kasus tersebut harus diselesaikan melalui mekanisme atau proses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Di dalam kenyataannya sudah selang beberapa tahun Kasus Trisakti dan Semanggi I/II terjadi, tapi sampai sekarang kasus ini belum diproses di pengadilan HAM Ad Hoc 15. Terutama dilibatkannya DPR-RI sebagai institusi politik dalam menilai suatu kasus pelanggaran HAM berat. Dalam pasal 43 ayat 2 UUPHAM dikatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu atas usul DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu melalui keputusan Presiden.
Kenyataannya dalam kasus Trisakti dan Semanggi I/II, DPR-RI tidak menjalankan fungsinya, tetapi malah justru memberikan penilaian dan pernyataan yang mendahului dilangsungkannya proses hukum di Pengadilan HAM Ad Hoc, bahwa dalam Kasus Trisakti dan Semanggi I/II tidak terjadi pelanggaran HAM berat. Padahal seharusnya DPR-RI dalam menjalankan fungsinya, tetap berpegang pada hasil penyelidikan KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II yang menemukan dugaan awal adanya pelanggaran HAM dalam Kasus Trisakti dan Semanggi I/II.
Dalam UUPHAM tidak secara jelas dirumuskan mekanisme peenyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, tetapi hanya menyebutkan keberadaan dan fungsi masing-masing lembaga yang terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, oleh karena itu dapat dipahami kalau penerapan UUPHAM dalam suatu kasus menimbulkan penafsiran berbeda. Pada Pasal 18 UUPHAM, penyelidikan pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM untuk mencari bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat selanjutnya hasilnya disampaikan kepada Jaksa Agung. Kemudian dari berkas hasil penyidikan Jaksa Agung yang berisi penjelasan ada atau tidaknya dugaan kuat terjadi pelanggaran HAM berat selanjutnya diserahkan kepada DPR RI. Berdasarkan analisis itu, DPR RI seharusnya memberikan pertimbangan politis dampak yang akan terjadi jika kasus tersebut diajukan di Pengadilan HAM Ad Hoc, dan sama sekali DPR RI bukan berwenang memberikan penilaian hukum terhadap suatu kasus dan mengusulkan kepada Presiden agar mengeluarkan keputusan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan Ad Hoc nantinyalah yang akan menilai dan memutuskan suatu peristiwa, apakah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, kenyataannya tidak ditetapkan dalam kasus Trisakti dan Semanggi I/II. DPR RI justru memberikan pertimbangan melampaui batas kewenangannya, karena sudah mengambil alih peran institusi hukum, sebagaimana DPR-RI dalam rekomendasinya menyatakan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi I/II sama sekali bukan pelanggaran HAM berat, sehingga diusulkannya agar penyelesaiannya cukup di Peradilan Militer. Rekomendasi inilah yang menjadi kendala penyelesaian secara tuntas Kasus Trisakti dan Semanggi I/II melalui Pengadilan Ad Hoc.
Dalam UUPHAM tidak secara jelas diuraikan mekanisme tentang bagaimana DPR RI sebagai lembaga politik melakukan fungsinya, sehingga tidak bertentangan dengan fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik, dan Jaksa Agung sebagai penyidik dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu. Dalam Pasal 43 ayat 2 UUPHAM hanya dikatakan bahwa Pengadilan Ham Ad Hoc dibentuk atas usul DPR RI.
Menurut Agung Wirayuda bahwa DPR RI sebagai lembaga politik, seharusnya tidak menjalankan fungsi yudisial, tetapi harus menjalankan fungsi sebatas konsultasi saja untuk memberikan pertimbangan politik tentang apa dampak politiknya jika kasus Trisakti dan Semanggi I/II diproses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam menjalankan fungsinya terhadap Kasus Trisakti dan Semanggi I/II, DPR-RI menempuh mekanisme yang diawali pembentukan Panitia Khusus (Pansus) yang selanjutnya bekerja dengan melakukan berbagai kegiatan rapat secara intensif dengan melibatkan berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa Trisakti dan Semanggi I/II, diantaranya keluarga korban, Tim Advokasi, Tim Relawan untuk kemanusiaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sejumlah mahasiswa, pakar hukum dan forensic serta para aparat keamanan dan pejabat militer yang diduga terkait langsung dengan peristiwa tersebut.
Menurut Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Binsar Gultom sebaiknya masalah kompetensi kewenangan mengadili Kasus Trisakti dan Semanggi I/II diserahkan pada lembaga yudikatif. Kalau lembaga ini memutuskan Pengadilan HAM Ad Hoc yang berwenang mengadili perkara ini, tanpa diminta Presiden harus mengeluarkan Keppres. Binsar mendesak agar Mahkamah Agung segera mengambil inisiatif untuk menuntaskan perbedaan pendapat tentang kewenangan mengadili kasus ini.
Pada sisi  yang lain, para keluarga korban kasus Trisakti dan Semanggi I/II, merasa bahwa apa yang diputuskan DPR RI tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Keluarga korban Kasus Trisakti, Nyonya Hendrik (Ibu dari Hendriawan Sie) dan Husnun (kakak dari Hafidin Royan), menyatakan rasa kecewanya dengan isi rekomendasi yang dihasilkan Pansus DPR-RI, karena keduanya sebenarnya sangat berharap agar kasus Trisakti dan Semanggi I/II dapat diproses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut mereka, kalau diproses melalui Pengadilan Militer, prosesnya cenderung tidak dapat berlangsung secara fair, karena akan lebih berorientasi untuk melindungi aparat militer itu sendiri. Apalagi pelaku intelektual dari Kasus Trisakti dan Semanggi I/II sangat susah diproses di Pengadilan Militer.
Berdasarkan desakan keluarga korban, akhirnya Komnas HAM pada tanggal 27 Agustus 2001 mengeluarkan Surat Keputusan No. 034/ Komnas HAM/VII/2001 tentang Pembentukan KPP HAM Trisakti dan Semanggi I/II. Surat Keputusan Komnas HAM ini kemudian diperpanjang masa kerjanya selama 90 hari, melalui Surat Keputusan No. 043/Komnas HAM/XI/2001 dan selanjutnya pada tanggal 27 Februari kembali diperpanjang selama satu bulan, sehingga waktu yang digunakan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II dalam menjalankan fungsinya, terhitung mulai sejak tanggal 27 Februari 2001 sampai pada bulan Maret 2002. Komisi ini bekerja mengumpulkan data (dokumen) dan informasi melalui wawancara dengan melakukan pemanggilan sejumlah saksi, diantaranya sejumlah civitas akademika dan mahasiswa, keluarga korban, dokter forensic sebagai saksi ahli, serta masyarakat umum.
Hal yang menjadi hambatan bagi KPP HAM kasus Trisakti dan Semanggi I/II adalah tidak dipenuhinya pemanggilan sejumlah saksi dari unsure TNI/Polri, sehingga KPP ini kemudian menggunakan hak Sub Poena sebagaimana dijamin dalam Pasal 95 UUPHAM. Dalam pasal ini memuat ketentuan tentang pemanggilan paksa seseorang yang tidak memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan atas bantuan Ketua Pengadilan.
Hasil kerja atau penyelidikan KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II yang termuat dalam Laporan Ringkasan Eksekutifnya tanggal 20 Maret 2002, menyebutkan sejumlah individu harus dimintai pertanggung jawaban pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan dengan pembiaran (omission) maupun yang dilakukan secara langsung. Tanggung jawab tersebut berada pada mereka yang memiliki tugas dan wewenang pada tiga tingkatan yaitu :
a.      Individu-individu yang diduga melakukan kejahatan kemanusiaan secara langsung di lapangan yaitu sejumlah aparat TNI dan Polri.
b.      Individu-individu yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena tindakan dan posisinya di tingkat komando pengendali operasi lapangan.
c.      Individu-individu yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena tindakan membiarkan dan posisi di tingkat komando strategi/kebijakan.
Berdasarkan hasil penyelidikan atau temuan tim KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II, kemudian tim ini meminta kepada Komnas HAM untuk melimpahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sebagai lembaga yang diberikan wewenang melakukan penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UUPHAM.
Harapan Komnas HAM terhadap penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi I/II di lembaga Jaksa Agung, ternyata tidak sesuai kenyataan. Berkas hasil penyelidikan KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II beberapa kali dikembalikan oleh Jaksa Agung dengan pertimbangan agar dilengkapi. Menanggapi pengembalian berkas laporan dari Jaksa Agung, Komnas HAM kemudian membentuk tim khusus untuk menyempurnakan berkas tersebut yang menitikberatkan pada penambahan keterangan saksi.
Terjadinya beberapa kali pengembalian hasil penyelidikan KPP HAM dari Jaksa Agungm adalah merupakan bagian dari kendala lanjutan penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi I/II untuk mencari proses semestinya melalui pengadilan HAM Ad Hoc.
Tujuan utama agar penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi I/II diproses melalui Pengadilan HAM Ad Hoc adalah agar selain pelaku di lapangan diproses, juga komandan atau pengambil kebijakan dalam penanganan demonstrasi ikut bertanggung  jawab. Kalau kasus ini hanya diproses di pengadilan militer, maka komandan lapangan, baik dari pihak tentara atau polisi, dengan sendirinya akan terlepas dari tanggung jawab. Hanya para prajuritlah yang kemudian akan dipersalahkan, karena alasan tidak melaksanakan secara benar perintah komandan, atau karena kesalahan prosedur, karena dalam proses peradilan militer, tidak dikenal prinsip tanggung jawab komandan.
Alasan  yang mendasari prinsip tanggung jawab komandan adalah setiap penyelenggaraan kekuasaan, dimana di dalam dirinya mengandung tanggung jawab. Demikian pula hukum kebiasaan internasional, dikenal bahwa negara dalam hal ini penguasa (komandan) tentara dan polisi harus bertanggung jawab atas perilaku kekuatan bersenjatanya.

















BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar Hak Asasi Manusianya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas Hak Asasi Manusia orang lain. Hak Asasi Manusia setiap individu dibatasi oleh Hak Asasi Manusia orang lain. Dalam kehidupan bernegara Hak Asasi Manusia diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan Hak Asasi Manusia, pengadilan Hak Asasi Manusia menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalamUndang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi I/II sampai sekarang belum diproses di Pengadilan Ad Hoc, karena terjadi perbedaan penafsiran penerapan UUPHAM, dimana UUPHAM tidak secara jelas menentukan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama fungsi DPR RI dalam peranannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan memberikan rekomendasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan dalam Pengadilan HAM Ad Hoc. Pada satu sisi Komnas HAM sebagai penyelidik berpendapat bahwa Trisakti dan Semanggi I/II merupakan pelanggaran HAM berat sementara pada sisi lain, DPR RI memberikan rekomendasi bahwa kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat, untuk itu menurutnya cukup diproses di Pengadilan Militer saja.

B.    Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga Hak Asasi Manusia orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan Jangan sampai pula Hak Asasi Manusia kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Jadi dalam menjaga Hak Asasi Manusia kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara Hak Asasi Manusia kita dengan Hak Asasi Manusia orang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Rosali Abdullah. Syamsir. 2002. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta

Fadli Andi Natsif. 2006. Prahara Trisakti dan Semanggi. Analisis Sosio Yuridis Pelanggaran HAM di Indonesia. PT. Agatama Media Prestasi. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar