BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan
dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah
sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era
reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era
reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal
pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan
orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain
dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri
Di era reformasi pasca runtuhnya rezim orde aru, pemerintah Indonesia dituntut
agar dalam setiap pengambilan kebijakan yang ditempuhnya, harus selalu memperhatikan
nilai-nilai demokrasi, yang terkandung di dalamnya adalah penghormatan terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara
hukum (rechtsstaat). Di dalam pelaksanaan prinsip negara hukum berarti segala
tindakan anggota-anggota masyarakat, apa lagi pemerintah tidak dapat
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.
Pada hakekatnya tujuan pembentukan hukum adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu
dapat dikatakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan substansi dan jiwa hukum,
sehingga secara filosofis segala ketentuan-ketentuan yang tidak bernuansa
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
Indonesia di era reformasi ini, termasuk negara yang
memiliki kepedulian terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Ini dapat
dilihat hasil amandemen atau perubahan kedua Undang-Undang Dasar Tahun 2000
disingkat UUD 1945 yang memperluas dan merinci tentang penghargaan HAM, yaitu
Bab XA terdiri atas sepuluh pasal (Pasal 28A-28J).
Adanya instrument dan institusi secara nasional (hukum
nasional) tentang Hak Asasi Manusia (HAM)tidak berarti secara pasti dapat
dikatakan perlindungan terhadap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
sudah terjamin. Di dalam Pasal 35 UUPHAM dinyatakan bahwa setiap korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Akan tetapi kenyataannya,
terhadap kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, dalam hal ini
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu (pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
berat yang terjadi sebelum terbentuknya UUPHAM), belum ada korban atau ahli
warisnya yang memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Belum ada usaha secara optimal yang memenuhi rasa
keadilan bagi korban untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga
melalukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di pengadilan, misalnnya
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Kasus Trisaksi dan Semanggi I/II. Hal ini
disebabkan dalam proses penyelidikan masih adanya perbedaan di kalangan
institusi yang berwenang menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
berat, utamanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus Trisakti dan
Semanggi I/II yang proses hukumnya harus melalui pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM) Ad Hoc.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Pengertian dan ruang lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
- Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
- Hukum Acara Yang Berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
- Kronologis dan Analisis Kasus Trisakti dan Semanggi I/II dan Kendala Penyelesaiannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
Ruang lingkup
pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) sangat luas, karena
persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dibatasi oleh sekat-sekat suku, agama
dan ras, termasuk sekat wilayah negara, sosial, politik, dan hukum karena Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah hak mendasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa
kepada manusia tanpa melihat adanya sekat atau perbedaan tersebut.
The
Universal Declaration of Human Right (DUHAM) atau pernyataan tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) se dunia diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1948, dalam deklarasinya dikatakan bahwa Pernyataan Umum tentang Hak
Asasi Manusia (HAM) ini sebagai suatu dasar pelaksanaan umum bagi semua bangsa
dan negara. Tujuannya agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa
berusaha untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan dengan jalan mengambil tindakan progresif yang bersifat
nasional dan internasional.
Menurut Aswanto
mengemukakan bahwa ruang lingkup dan pelaksanaan Hak Asasi
Manusia (HAM) masih menjadi bahan perdebatan di kalangan pemikir dan politisi.
Beberapa teoritis Hak Asasi Manusia (HAM) berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia (HAM)
seharusnya dibatasi hanya pada hak-hak politik dan sipil saja.
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman
yang berkembang di setiap negara. Hak
Asasi Manusia (HAM) berdasarkan pemahaman liberal yang banyak dianut oleh
negara Barat seperti Amerika Serikat, merupakan konsep atas reaksi terhadap
sistem pemerintahan yang bersifat abolut. Oleh karena itu dalam proklamasi
kemerdekaan Amerika Serikat tersebut sangat jelas ditegaskan untuk menjunjung
tinggi hak-hak individu (kemerdekaan dan pemilikan). Dimana hal tersebut
berbeda dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) menurut paham sosialis yang
menekankan makna Hak Asasi Manusia (HAM) pada hak-hak kemasyarakatan.
Sedangkan Scheltens
membedakan dua pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
yaitu : Pertama, Mensenrechten adalah hak yang diperoleh setiap manusia sebagai
konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia. Kedua, grondrechten adalah hak yang
diperoleh setiap warga negara sebagai konsekuensi ia menjadi warga negara dari
suatu negara.
Salah satu definisi
Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencerminkan nilai universal dikemukakan oleh
Wignjosoebroto bahwa Hak asasi manusia adalah hak-hak moral yang melekat secara kodrat
pada setiap makhluk yang bersosok manusia, demi terjaganya harkat dan martabat
manusia itu sebagai makhluk ciptaan Allah.
Adapun pengertian HAM
yang tercantum dalam UUHAM dan UUPHAM masing-masing pada Pasal 1 angka 1
dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sementara
dalam DUHAM Tahun 1948 pengertian dan pembagian Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup berkeluarga, hak
untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau
dirampas oleh siapapun. Selanjutnya, manusia juga mempunyai hak dan tanggung
jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat.
Bila dianalisis isi
DUHAM ini, maka klasifikasi penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
terdiri atas hak-hak sosial ekonomi yuridis, sehingga setiap orang dituntut
untuk menghormati hak-hak tersebut. Jadi ruang lingkup HAM bukan hanya terbatas
hak-hak sipil dan politik saja, melainkan juga meliputi hak sosial, ekonomi dan
budaya.
B. Perkembangan Hak Asasi di Indonesia
a. Kemajuan Yang Dicapai Dalam Pemenuhan
Hak Asasi Manusia
Setelah
amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan keluarnya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi
Manusia dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin pesat. Hal ini
ditunjukkan dengan semakin banyaknya instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak Asasi Manusia yang diratifikasi dan diadopsi oleh peraturan
perundang-undangan nasional kita.
Dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, masalah
perlindungan hak-hak wanita dan hak-hak anak ternyata telah mendapat perhatian
yang lebih besar. Undang-undang ini
telah mengadopsi beberapa pasal dari konversi tentang hak-hak wanita dan
konvensi tentang hak-hak anak ke dalam pasal-pasalnya yaitu sebagai berikut :
1.
Hak – hak Wanita, diatur dalam 7 pasal diantaranya
:
Pasal
45 : Hak
wanita dalam undang-undang ini adalah Hak Asasi Manusia
Pasal
46 : Sistem
pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislative, dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan
yang ditentukan.
Pasal
47 : Seorang
wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara
otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya, tetapi mempunyai hak untuk
mempertahankan, mengganti atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Dari beberapa pasal di atas
dapat disimpulkan bahwa hak-hak wanita yang sudah diakui dan diberi jaminan
perlindungan hukum oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a. Hak
keterwakilan wanita di bidang eksekutif, legislatif
b. Hak
untuk menentukan status kewarganegaraannya sendiri dalam kehidupan rumah tangga
2.
Hak-Hak anak diatur dalam 15 pasal,
diantaranya :
Pasal 52
Ayat
1 : Setiap
anak berhak atas perlindungan oleh orang
tua, keluarga, masyarakat dan negara
Ayat
2 : Hak
anak adalah Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingannya, hak anak itu diakui dan
dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53
Ayat
1 : Setiap
anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
Ayat
2 : Setiap
anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama status kewarganegaraan.
Pasal
54 : Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk
menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal
55 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah
bimbingan orang tua dan atau wali.
Dari beberapa pasal di atas
dapat disimpulkan bahwa hak-hak anak yang sudah diakui dan diberi jaminan
perlindungan hukum oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada dasarnya :
a. Hak
untuk dapat perlindungan dari orang tua, masyarakat dan negara.
b. Hak
untuk mengetahui siapa orang tuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan
dirawat mereka
c. Hak
untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristirahat, bergaul dan berintegrasi
dengan lingkungannya.
Menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak-hak
wanita dan hak-hak anak adalah merupakan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu,
hak-hak wanita dan hak-hak anak perlu diakui dan mendapat perlindungan oleh
hukum. Apalagi bila diingat bahwa hak-hak wanita dan hak-hak anak lebih banyak
menyangkut hubungan dalam keluarga dan masyarakat dan merupakan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Perkembangan Melalui Instrumen Hukum dan
Kelembagaan
Undang-Undang
Dasar 1945 yang memuat lima pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia yaitu
pasal 27 sampai dengan pasal 31. Apabila kita bandingkan dengan konstitusi RIS
1949 dan UUDS 1950 ternyata kedua konstitusi tersebut lebih maju dalam mengatur
Hak Asasi Manusia. Hal ini merupakan akibat dari dideklarasikannya Universal
Declaration of Human Right oleh Perseikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 yang
telah mempengaruhi kedua konstitusi tersebut.
Dalam
rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia 1998 – 2003 telah ditetapkan
program kegiatan antara lain :
a.
Menetapkan beberapa perangkat (instrument)
internasional Hak Asasi Manusia yang perlu mendapat prioritas untuk segera
diratifikasi berdasarkan rekomendasi dari institusi pemerintah dan LSM.
b.
Harmonisasi perundang-undangan nasional.
Harmonisasi perundang-undangan nasional di bidang Hak
Asasi Manusia, dilakukan antara lain dengan merevisi perundang-undangan yang
berlaku dan merancang undang-undang yang baru sesuai isi instrument
internasional Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi.
Dalam upaya pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia, disamping diperlukan instrumen hukum, baik instrument hukum
internasional (berupa konvensi) maupun instrument hukum nasional (berupa
peraturan perundang-undangan), juga diperlukan instrument yang bersifat
kelembagaan.
Dalam perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1993, pada yanggal 7 Juni 1993 telah dibentuk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kemudian dikukuhkan melalui
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian,
kedudukan dan independensi Komnas HAM semakin kuat, tidak lagi terkesan sebagai
alat pemerintah.
Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk :
a.
Mengembangkan kondisi dan kondusif bagi
pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945
dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan
b.
Meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak
Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan
beberapa fungsi sebagai berikut :
a.
Pengkajian
b.
Penelitian
c.
Penyuluhan
d.
Pemantauan
e.
Mediasi tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut ketentuan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang atau sekelompok orang berhak
mengajukan laporan dan pengaduan baik secara lisan maupun tertulis kepada
Komnas HAM, apabila memiliki alasan yang kuat bahwa hak asasinya telah
dilanggar. Pengaduan tersebut hanya akan dilayani apabila disertai identitas
pengadu yang benat dan disertai keterangan atau bukti awal yang jelas tentang
materi yang diadukan.
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 94 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pihak pengadu, korban, saksi
atau pihak lainnya yang terkait dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia wajib
memenuhi permintaan Komnas HAM. Apabila pihak-pihak tersebut tidak memenuhi
pemanggilan atau menolak memberi keterangan, maka Komnas HAM dapat meminta
ketua pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan secara paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Hukum Acara Yang Berlaku di Pengadilan Hak
Asasi Manusia
a.
Penyelidikan,
Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Muka Sidang
1. Tahap Penyidikan
Menurut ketentuan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 penyelidikan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk tim Ad Hoc yang
terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Dalam melakukan
penyelidikan, penyelidik berwenang melakukan hal-hal berikut :
a.
Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
b.
Menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, serta mecari keterangan dan barang bukti.
c.
Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak
yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
d.
Memanggil saksi untuk dimintai keterangan dan
didengarkan keterangannya.
e.
Meninjau dan mengumpulkan keterangan di
tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f.
Memanggil pihak terkait untuk memberikan
keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya.
g.
Atas perintah penyidik dapat melakukan
tindakan berupa :
1)
Pemeriksaan surat
2)
Penggeledahan dan penyitaan
3)
Pemeriksaan di tempat terhadap rumah, pekarangan,
bangunan dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu.
4)
Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan
penyelidikan.
Pada saat mulai
penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat, penyelidikan memberitahukan hal tersebut kepada penyidik.
Sesudah melakukan penyelidikan, apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat
bukti permulaan yang cukup, telah terjadi peristiwa pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada
penyidik.
Menurut ketentuan
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pemeriksaan pelangagaran hak asasi
manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Apabila seseorang yang dipanggil oleh Komnas HAM tidak datang menghadap atau
menolak memberikan keterangan, Komnas
HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan yang bersangkutan untuk pemenuhan
panggilan secara paksa, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Tahap Penyidikan
Menurut ketentuan
Pasal 21 Undang-Udnang Nomor 26 Tahun 2000, kewenangan penyidikan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat ditangan Jaksa Agung. Dalam
undang-undang ini tidak dijelaskan apakah Jaksa Agung dapat melimpahkan
kewenangan penyidikan ini kepada jaksa-jaksa lain yang ada di lingkungan
Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Negeri dimana pelanggaran hak asasi manusia
yang berat itu terjadi.
Oleh karena itu,
sebaiknya kewenangan penyidikan yang ada di tangan Jaksa Agung dapat
dilimpahkan setidak-tidaknya kepada Jaksa Tinggi di daerah mana yang telah
terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut ketentuan
undang-undang ini Jaksa Agung dapat mengangkat Penyidik ad hoc yang terdiri
atas unsur pemerintah dan masyarakat. Yang dimaksud unsur masyarakat dalam hal
ini adalah organisasi politik, organisasi kemasyarakatan yang lain, seperti
perguruan tinggi.
Syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh seorang untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc adalah
sebagai berikut :
1.
Warga negara Republik Indonesia
2.
Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh)
tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun.
3.
Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain
yang mempunyai keahlian di bidang hukum.
4.
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945
5.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak
tercela
6.
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945
7.
Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang
hak asasi manusia.
Jaksa Agung
sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan, dan penahanan untuk
kepentingan penyidikan, terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup.
Penyidikan wajib
diselesaikan penyidik paling lambat dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap dan penyidik. Jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia, sesuai
dengan daerah hukumnya.
3. Tahap Penuntutan
Menurut ketentuan
Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000, penuntutan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat
mengangkat ”penuntut umum ad hoc” yang terdiri atas unsur pemerintah dan
masyarakat sesuai kebutuhan, dengan syarat sebagai berikut :
1)
Warga negara Republik Indonesia
2)
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3)
Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh)
tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun
4)
Berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman
sebagai penuntut umum.
5)
Sehat jasmani dan rohani
6)
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak
tercela
7)
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945
8)
Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang
hak asasi manusia.
Menurut ketentuan pasal 24 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000, penuntutan wajib dilaksanakan oleh penuntut umum paling lambat 70 (tujuh
puluh) hari terhitung sejak hasil penyidikan diterima. Untuk kepentingan
penuntutan, penuntut umum dapat menahan terdakwa paling lama 30 (tiga puluh)
hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan
daerah hukumnya.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik dan penuntut
umum Jaksa Agung tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan, karena hal
ini merupakan kewenangan dari Komna HAM.
4. Pemeriksaan di Muka Sidang Pengadilan
Perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam waktu
paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari, terhitung sejak perkara
dilimpahkan kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan.
Apabila perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan
Tinggi Hak Asasi Manusia, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan
ke Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan
banding dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang
30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia sesuai
dengan daerah hukumnya.
Selanjutnya apabila
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan Kasasi ke Mahkamah
Agung, perkara tersebut harus sudah diperiksa dan diputus dalam waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara tersebut dilimpahkan ke
Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan
dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari dan diperpanjang 30 (tiga puluh)
hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
b.
Perlindungan
Korban dan Saksi
Di
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat telah diberlakukan Undang-Undang
Perlindungan Korban dan Saksi yang memberikan jaminan perlindungan kepada
korban dan saksi, tidak saja dalam perkata pelanggaran hak asasi manusia tetapi
juga dalam perkara pidana biasa. Jaminan perlindungan ini sangat penting
mengingat peranan keterangan saksi, baik saksi korban dan saksi lainnya, sangat
besar dalam memutus suatu perkara. Perlindungtan itu tidak saja berupa
perlindungan secara fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan tindak
kekerasan, tetapi juga berupa jaminan kesejahteraan untuk korban dan saksi,
baik berupa pemberian pekerjaan dan jaminan kehidupan.
Di
negara kita sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur
perlindungan korban dan saksi seperti di Amerika Serikat. Yang ada adalah
perlindungan korban dan saksi dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Perlindungan terhadap korban dan saksi wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Di negara kita jangankan
perlindungan terhadap korban dan saksi, terhadap aparat penegak hukum saja
sulit diwujudkan.
c.
Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi
Menurut
ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, setiap korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dicantumkan
dalam amar putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Menurut
penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi dijelaskan sebagai berikut :
1.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
2.
Restitusi adalah ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Restitusi dapat berupa :
a.
Pengembalian hak milik
b.
Pembayarann ganti kerugian untuk kehilangan
atau penderitaan atau
c.
Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
3.
Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan
semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.
d.
Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
Pengadilan
Hak Asasi Manusia, tidak menganut “asas retroaktif” maka pengadilan Hak Asasi
Manusia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tidak
berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat yang terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan.
Sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, terutama di masa pemerintahan orde baru terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat diantaranya adalah Tragedi Trisakti Semanggi I/II dimana
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut telah memakan banyak korban jiwa
dan dilakukan tidak saja oleh penguasa terhadap mahasiswa tetapi juga terjadi
antara penguasa dan penduduk sipil.
Untuk
mengatasi hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, melalui Pasal
43, menghendaki dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manuia Ad Hoc yang diberi
wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini diundangkan.
Walaupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengatur tentang Susunan
Majelis Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, cara-cara serta pengangkatan
hakimnya dalam pelaksanaannya dapat mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi majelis hakim Pengadilan Hak
Asasi Manusia di tingkat kasasi. Tetapi untuk mencegah terjadinya kerancuan
sebaiknya hal ini diatur secara tersendiri dalam suatu peraturan per
undang-undangan.
Untuk
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah selesai atau sedang dalam
proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Menurut
ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 penyelesaian perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dilakukan oleh suatu komisi
yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Penyelesaian perkara hak asasi manusia
yang berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat mendatangkan banyak
manfaat, antara lain proses penyelidikan penuntutan dan penyidangan tidak akan
berlarut-larut dan dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal
tersebut dapat dicapai apabila Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat
menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
seobjektif mungkin dan seadil-adilnya sehingga dapat diterima oleh semua pihak
yang terkait. Oleh karena itu anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
tersebut harus terdiri dari orang-orang yang betul-betul mempunyai integritas
moral yang tinggi, mempunyai pengetahuan dan kepedulian terhadap hak asasi
manusia dan bebas dari keterkaitan masa lalu (masa pemerintahan orde baru).
Melalui
komisi kebenaran dan rekonsiliasi kita berharap perkara-perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, terutama yang terjadi di masa lalu dapat segera
dituntaskan, dengan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Oleh
karena itu, adalah suatu hal yang mendesak untuk segera membuat undang-undang
tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
D. Kronologis dan Analisis Kasus Trisakti
dan Semanggi I/II dan Kendala Penyelesaiannya
a.
Kronologis
dan Analisis Kasus Trisakti
Akibat
jatuhnya perekonomian Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997,
mengakibatkan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) pada bulan Maret 1998 untuk memilih pemerintahan yang baru, dipandang
sangat menentukan masa depan Indonesia selanjutnya. Akan tetapi walau ditentang
oleh berbagai kalangan masyarakat dan demonstrasi mahasiswa, MPR-RI tetap
memilih dan menetapkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk
kelima kalinya. Kenyatan itulah yang mendorong para mahasiswa untuk terpanggil
menyelamatkan bangsa dari kritis dengan jalan demonstrasi besar-besaran dengan
harapam suara mereka didengarkan.
Keadaan
semakin memanas sejak sebelum dilaksanakannya Sidang Umum MPR-RI sampai dengan
terpilihnya kembali Soeharto. Hampir setiap hari mahasiswa melakukan
demonstrasi yang menurut persepsi militer dapat mengancam ketahanan nasional,
apalagi para mahasiswa sudah mulai berani turun ke jalan-jalan menyuarakan
aspirasinya. Konsep reformasi yang dikumandangkan para mahasiswa, bukan hanya pergantian
kepemimpinan bangsa tetapi juga adanya perubahan, akhlak, moral dan mental dari
pemerintahan orde baru yang menumbuhkan perilaku Kolusi Korupsi dan Nepotisme
(KKN).
Menurut
Affan Gaffar, tuntutan reformasi dalam bidang politik yaitu sebuah pemerintahan
yang bersih, berwibawa dan demokratik yang diharapkan mampu mewujudkan
cita-cita keadilan sosial di masa-masa mendatang. Mahasiswa Universitas
Trisakti Jakarta yang kebanyakan berasal dari golongan menengah ke atas, yang
dipandang tidak peka terhadap situasi krisis ekonomi yang melanda rakyat
Indonesia, akhirnya ikut pula turun ke jalan. Menurut Ketua SMUT (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti), Julianto Hendro Cahyono, sebelum sidang MPR-RI
tahun 1997, mahasiswa Universitas Trisakti sudah mulai bergerak, saat itu para
mahasiswa yang dipelopori oleh beberapa ketua organisasi kemahasiswaan, sudah
mulai mengadakan aksi dengan membagi-bagikan pamplet dan bunga mawar pada
pengguna jalan di depan Terminal Bus Grogol untuk menyadarkan masyarakat mencintai
rupiah. Kemudian ditindak lanjuti aksi membagi-bagikan sembako di daerah Grogol
dan sekitarnya bekerja sama dengan Ikatan Kekeluargaan Alumni Trisakti
(Ikasakti).
Mahasiwa
Trisakti menuntut diadakannya reformasi ekonomi dan politik, dimulai dengan
pola aksi orasi dalam kampus dengan tujuan untuk menggalang kesatuan visi
tentang isu gerakan mahasiswa mengenai pembentukan “Indonesia Baru”, tidak lain
karena para tokoh mahasiswa menyadari bahwa di kalangan mahasiswa Universitas
Trisakti sendiri memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi permasalahan
bangsa Indonesia saat itu.
Menurut
Julianto Hendro Cahyono, bahwa mahasiswa Universitas Trisakti dapat digolongkan
menjadi tiga kelompok yang masing-masing mempunyai ciri sebagai berikut :
1.
Mahasiswa yang sudah matang dan mengerti
keadaan bangsa dan negara, sudah sering ikut diskusi di luar dan di forum-forum
yang sifatnya kritis.
2.
Mahasiswa yang sudah mengerti keadaan seperti
ini tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana menyalurkan aspirasinya, dan
3.
Mahasiswa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya kuliah,
pulang, melakukan kegiatan pribadi, bias dikatakan tidak peduli dengan keadaan
sekarang dan apa yang terjadi di masyarakat.
Aksi mimbar mahasiswa Universitas Trisakti selain
bertujuan menyatukan isu gerakan dan untuk memotivasi idealisme pergerakann
secara keseluruhan mahasiswa, juga bertujuan untuk menjadi sarana untuk mendapatkan dukungan
dari unsur pimpinan universitas. Hasil dan tujuan tersebut dibuktikan ketika
SMUT mengeluarkan penyataan sikap untuk mengkritis kebijakan pemerintah dengan
menaikkan harga bahan bakar minya, tarif angkutan umum dan listrik yang
menyengsarakan rakyat, serentak para mahasiswa Universitas Trisakti menyatukan
sikapnya berjuang menuntut reformasi total, termaktub didalamnya tuntutan agar
Soeharto segera turun dari tahta sebagai Presiden Republik Indonesia yang
didudukinya selama 32 tahun. Dan saat sikap mahasiswa menyatu, para pimpinan
Universitas Trisakti tidak kuasa lagi menghindar untuk tidak memberikan
dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan para mahasiswanya.
Puncak aksi solidaritas mahasiswa bersama dan para
pimpinan Universitas Trisakti terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Setelah
melakukan aksi mimbar bebas di kampus,
saat siang hari para mahasiswa bergerak dari arena kampus di Grogol menuju
Gedung DPR MPRI RI di Senayan, tetapi pada saat perjalanan di kawasan Slipi
mereka dihadang oleh ratusan aparat kepolisian yang mengharuskan mereka kembali
ke kampus. Setelah terjadi negosiasi berkepanjangan akhirnya mahasiswa memutar
haluan untuk kembali ke kampus dengan kawalan ratusan aparat kepolisian dan
militer yang berjaga-jaga di depan kampus.
Pada saat sore harinya menjelang magrib, tiba-tiba
kerumunan massa mahasiswa serentak berhamburan akibat dilakukannya tindakan
serangan fisik dan serentetan penembakan oleh aparat keamanan. Kemudian pada
malam harinya diketahui, bahwa ada empat orang mahasiswa yang meninggal dunia
dan puluhan mahasiswa serta masyarakat umum lainnya yang ikut bersimpati dengan
gerakan mahasiswa, dibawa lari ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang
intensif karena terluka.
Akibat perlakuan anarkis aparat keamanan itu, sepanjang
malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari tanggal 13 Mei 1998, masyarakat umum
yang kecewa dan tidak menerima perlakuan aparat itu kemudian mengamuk dan
melakukan pengrusakan sejumlah fasilitas umum dan pusat pertokoan di daerah
Grogol hingga menyebar ke seluruh wilayah Jakarta sehingga menciptakan suasana
geger dan mencekam. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Tragedi Trisakti 12
Mei 1998.
Dari kronologis Tragedi Trisakti tersebut dapat
disimpulkan bahwa tindakan aparat keamanan dalam menangani aksi massa dalam
bentuk mimbar bebas di kampus Universitas Trisakti tidak melalui proses
pendekatan persuasive tetapi dilakukan dengan sikap represif yang kemudian
menimbulkan kepanikan pada mahasiswa untuk melakukann perlawanan, sehingga
menimbulkan ketegangan dan keributan massa, yang kemudian oleh aparat keamanan
justru dihadapi secara emosional sebagaimana menghadapi musuh di medan perang
yang akan mengancam keutuhan nasional.
Atas prahara yang memilukan bangsa Indonesia di Kampus
Trisakti ini, menimbulkan reaksi beragam dari kalangan baik tokoh masyarakat
bahkan dari kalangan pemerintahan sendiri. B.J. Habibie serta merta menyampaikan
belasungkawa sekaligus menyatakan keprihatinan mendalam. Sementara dari
kalangan militer ucapan belasungkawa disampaikan oleh Jenderal Wiranto yang
menyatakan penyesalan atas terjadinya tragedi tersebut sekaligus berjanji akan
melakukan pengusutan secara tuntas atas insiden itu.
Amien Rais, tokoh yang ikut langsung dalam perjuangan
gerakan reformasi untuk menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan secara
tegas mengutuk keras tindakan brutal aparat keamanan dalam penanganan unjuk
rasa mahasiswa Universitas Trisakti itu. Amin Rais menyatakan bahwa dari sudut
pandang apapun, baik dari segi agama, moral dan nilai-nilai Pancasila, tindakan
kekerasan aparat keamanan seperti itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
b.
Kronologis
dan Analisis Kasus Semanggi I dan II
Kasus
Trisakti yang menyebabkan meninggalnya empat orang mahasiswa, kemudian menjadi
factor pemicu bagi mahasiswa lainnya di seluruh Indonesia untuk terus berjuang
menumbangkan kekuasaan orde baru yang dicap oleh mahasiswa sebagai rezim yang
otoriter. Puncaknya gelombang unjuk rasa
mahasiswa melakukan pendudukan Gedung MPR/DPR – RI selama kurang lebih empat
hari berturut-turut mulai tanggal 18 Mei 1998 sampai dengan tanggal 21 Mei 1998
bertepatan di saat Soeharto mengeluarkan pernyataan mengundurkan diri dan berhenti
sebagai Presiden Republik Indonesia.
Meskipun
Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan digantikan oleh
Wakil Presiden B.J. Habibie, tetapi bukanlah babak akhir dari perjuangan para
mahasiswa untuk mengakhiri gerakannya, pernyataan agar Soeharto segera mundur
dari jabatannya, hanyalah dijadikan sebagai momentum awal untuk memasuki
perjuangan berikutnya, yaitu melakukan perubahan menyeluruh pada semua pranata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan sistem politik, sosial dan ekonomi
serta pola hubungan antara rakyat dan negara yang sebelumnya pada masa
pemerintahan orde baru menggunakan sistem top down (kebijakan dari atas ke
bawah), menuju pada pola bottom up (kebijakan dari bawah ke atas).
Harapan
untuk melakukan berbagai perubahan pasca Soeharto, menjadi konsekuensi tanggung
jawab Habibie. Akan tetapi eksistensi Habibie yang menggantikan Soeharto
menimbulkan kontroversi, karena dianggap hanya merupakan presiden transisi,
sehingga harus dilakukan Sidang Istimewa MPRI RI untuk menetapkan presiden yang
betul-betul memiliki legitimasi sesuai dengan perundang-undangan dan keinginan
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi kontroversi ini, maka
dua bulan setelah Habibie menjabat sebagai Presiden RI, MPR-RI kemudian mengeluarkan
Ketetapan Nomor X tertanggal 22 Juli 1998, yang berkaitan dengan penetapan
waktu penyelenggaran Sidang Istimewa MPR-RI pada tanggal 10-13 November 1998.
Lahirnya ketetapan MPR RI ini menjadi pemicu meningkatnya lagi demonstrasi
mahasiswa di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Banten, Semarang
dan Makassar. Inti demonstrasi mahasiswa adalah untuk menolak Sidang Istimewa
yang akan digelar tersebut dan meminta B.J. Habibie agar segera mengantisipasi
krisis ekonomi yang telah menimbulkan beban masyarakat.
Demonstrasi
massa mahasiswa terus berlanjut hingga akhir pelaksanaan Sidang Istimewa MPR RI
pada tanggal 13 November 1998 dan pada hari dan tanggal itu pulalah terjadi
peristiwa yang dikenal dengan Kasus Semanggi I.
Dalam
penanganan aparat keamanan terhadap demonstrasi mahasiswa dan massa lainnya di
Semanggi saat menjelang dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPRI RI sungguh suatu
tindakan yang sangat represif, dibuktikan dengan banyaknya jumlah korban dari
kalangan masyarakat sipil, baik yang luka-luka maupun yang meninggal dunia.
Korban yang jumlahnya 109 orang dalam kasus yang disebut Peristiwa Semanggi I
ini adalah korban-korban yang disebabkan penganiayaan dan penembakan aparat
keamanan pada saat mereka melakukan demonstrasi untuk menolak pelaksanaan
Sidang Istimewa MPR RI. Korban Semanggi I, tidak saja dari kalangan mahasiswa
atau rombongan massa lainnya yang berhubungan dengan penolakan sidang istimewa,
tetapi juga sejumlah anggota masyarakat yang berada dan atau sedang bekerja di
sekitar tempat dan waktu kejadian peristiwa. Diantaranya termasuk para pekerja
kemanusiaan dan wartawan peliput berita yang berada di tempat itu ketika aparat
keamanan melakukan penghadangan dan pembubaran paksa demonstrasi massa.
Setelah
terjadinya huru hara Semanggi I, kejadian serupa kembali terulang di tempat
yang sama, meskipun dengan momen demonstrasi yang sudah berbeda. Kejadian
tersebut pada tanggal 7 – 24 September 1999, saat rombongan demonstrasi
mahasiswa menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan
Keadaan Bahaya (RUU PKB). Demonstrasi ini juga akhirnya menimbulkan banyak
korban, sehingga peristiwa ini pula dikenal dengan nama Tragedi Semanggi II.
Model
aparat keamanan terhadap setiap demonstrasi mahasiswa, jelas menggunakan
security approach yang cenderung menimbulkan dampak pengabaian akan
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, sehingga hamper disetiap momen demonstrasi
terjadi banyak korban, baik yang luka mau pun yang meninggal dunia. Banyaknya
korban yang jatuh disebabkan penganiayaan dan penembakan yang baik yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap Peristiwa Semanggi II.
Dikatakan berhubungan tidak langsung, karena demonstrasi penentangan RUU PKB
bukan hanya di sekitar lokasi Semanggi saja, tetapi aksi yang sama berlangsung
juga di Bandung.
Demonstrasi
besar-besaran yang merupakan reaksi atas diajukannya RUU PKB melalui
Menkopolkam yang saat itu dijabat Jenderal Faisal Tandjung akhirnya membuahkan
hasil. Pada tanggal 24 September 1999, pemerintah melalui Kapuspen ABRI, Mayjen
TNI Sudrajat, mengumumkan penundaan pembahasan pemberlakuan RUU PKB.
c.
Kendala
Penyelesaian
Pelanggaran
HAM berat merupakan extra ordinary crime yang proses penyelesaiannya tidak
tunduk pada pengadilan biasa tetapi pengadilan khusus, yaitu Pengadilan HAM.
Akan tetapi perlu ditegaskan kembali bahwa yurisdiksi (kewenangan) mengadili
pelanggaran HAM berat pada pengadilan HAM sesuai yang tercantum dakam UUPHAM
ada dua jenis pengadilann yaitu :
Pertama,
Pengadilan HAM (Permanen) yang mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi
setelah terbentuk UUPHAM (Pasal 4 UUPHAM). Kedua, Pengadilan HAM Ad Hoc,
melakukan proses hukum terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
terbentuk UUPHAM (Pasal 43 UUPHAM). Oleh karena kasus Trisakti dan Semanggi
I/II terjadi tahun 1998 dan 1999 setelah UUPHAM terbentuk pada tahun 2000, maka
proses penyelesaian kasus tersebut harus diselesaikan melalui mekanisme atau
proses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Di dalam kenyataannya sudah selang beberapa
tahun Kasus Trisakti dan Semanggi I/II terjadi, tapi sampai sekarang kasus ini
belum diproses di pengadilan HAM Ad Hoc 15. Terutama dilibatkannya DPR-RI
sebagai institusi politik dalam menilai suatu kasus pelanggaran HAM berat.
Dalam pasal 43 ayat 2 UUPHAM dikatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk
untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu atas usul DPR RI berdasarkan
peristiwa tertentu melalui keputusan Presiden.
Kenyataannya
dalam kasus Trisakti dan Semanggi I/II, DPR-RI tidak menjalankan fungsinya,
tetapi malah justru memberikan penilaian dan pernyataan yang mendahului
dilangsungkannya proses hukum di Pengadilan HAM Ad Hoc, bahwa dalam Kasus
Trisakti dan Semanggi I/II tidak terjadi pelanggaran HAM berat. Padahal
seharusnya DPR-RI dalam menjalankan fungsinya, tetap berpegang pada hasil
penyelidikan KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II yang menemukan dugaan
awal adanya pelanggaran HAM dalam Kasus Trisakti dan Semanggi I/II.
Dalam
UUPHAM tidak secara jelas dirumuskan mekanisme peenyelesaian pelanggaran HAM berat
masa lalu, tetapi hanya menyebutkan keberadaan dan fungsi masing-masing lembaga
yang terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, oleh karena itu
dapat dipahami kalau penerapan UUPHAM dalam suatu kasus menimbulkan penafsiran
berbeda. Pada Pasal 18 UUPHAM, penyelidikan pelanggaran HAM berat dilakukan
oleh Komnas HAM untuk mencari bukti permulaan yang cukup telah terjadi
peristiwa pelanggaran HAM berat selanjutnya hasilnya disampaikan kepada Jaksa
Agung. Kemudian dari berkas hasil penyidikan Jaksa Agung yang berisi penjelasan
ada atau tidaknya dugaan kuat terjadi pelanggaran HAM berat selanjutnya
diserahkan kepada DPR RI. Berdasarkan analisis itu, DPR RI seharusnya
memberikan pertimbangan politis dampak yang akan terjadi jika kasus tersebut diajukan
di Pengadilan HAM Ad Hoc, dan sama sekali DPR RI bukan berwenang memberikan
penilaian hukum terhadap suatu kasus dan mengusulkan kepada Presiden agar
mengeluarkan keputusan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan Ad Hoc
nantinyalah yang akan menilai dan memutuskan suatu peristiwa, apakah dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. Mekanisme penyelesaian
pelanggaran HAM berat masa lalu, kenyataannya tidak ditetapkan dalam kasus
Trisakti dan Semanggi I/II. DPR RI justru memberikan pertimbangan melampaui
batas kewenangannya, karena sudah mengambil alih peran institusi hukum,
sebagaimana DPR-RI dalam rekomendasinya menyatakan bahwa kasus Trisakti dan
Semanggi I/II sama sekali bukan pelanggaran HAM berat, sehingga diusulkannya
agar penyelesaiannya cukup di Peradilan Militer. Rekomendasi inilah yang
menjadi kendala penyelesaian secara tuntas Kasus Trisakti dan Semanggi I/II
melalui Pengadilan Ad Hoc.
Dalam
UUPHAM tidak secara jelas diuraikan mekanisme tentang bagaimana DPR RI sebagai
lembaga politik melakukan fungsinya, sehingga tidak bertentangan dengan fungsi
Komnas HAM sebagai penyelidik, dan Jaksa Agung sebagai penyidik dalam
penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu. Dalam Pasal 43 ayat 2 UUPHAM
hanya dikatakan bahwa Pengadilan Ham Ad Hoc dibentuk atas usul DPR RI.
Menurut
Agung Wirayuda bahwa DPR RI sebagai lembaga politik, seharusnya tidak
menjalankan fungsi yudisial, tetapi harus menjalankan fungsi sebatas konsultasi
saja untuk memberikan pertimbangan politik tentang apa dampak politiknya jika
kasus Trisakti dan Semanggi I/II diproses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam
menjalankan fungsinya terhadap Kasus Trisakti dan Semanggi I/II, DPR-RI
menempuh mekanisme yang diawali pembentukan Panitia Khusus (Pansus) yang
selanjutnya bekerja dengan melakukan berbagai kegiatan rapat secara intensif
dengan melibatkan berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa Trisakti dan
Semanggi I/II, diantaranya keluarga korban, Tim Advokasi, Tim Relawan untuk
kemanusiaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sejumlah mahasiswa, pakar hukum
dan forensic serta para aparat keamanan dan pejabat militer yang diduga terkait
langsung dengan peristiwa tersebut.
Menurut
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Binsar Gultom sebaiknya masalah kompetensi
kewenangan mengadili Kasus Trisakti dan Semanggi I/II diserahkan pada lembaga
yudikatif. Kalau lembaga ini memutuskan Pengadilan HAM Ad Hoc yang berwenang
mengadili perkara ini, tanpa diminta Presiden harus mengeluarkan Keppres.
Binsar mendesak agar Mahkamah Agung segera mengambil inisiatif untuk
menuntaskan perbedaan pendapat tentang kewenangan mengadili kasus ini.
Pada
sisi yang lain, para keluarga korban
kasus Trisakti dan Semanggi I/II, merasa bahwa apa yang diputuskan DPR RI tidak
mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Keluarga korban Kasus Trisakti, Nyonya
Hendrik (Ibu dari Hendriawan Sie) dan Husnun (kakak dari Hafidin Royan),
menyatakan rasa kecewanya dengan isi rekomendasi yang dihasilkan Pansus DPR-RI,
karena keduanya sebenarnya sangat berharap agar kasus Trisakti dan Semanggi
I/II dapat diproses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut mereka, kalau diproses
melalui Pengadilan Militer, prosesnya cenderung tidak dapat berlangsung secara
fair, karena akan lebih berorientasi untuk melindungi aparat militer itu
sendiri. Apalagi pelaku intelektual dari Kasus Trisakti dan Semanggi I/II
sangat susah diproses di Pengadilan Militer.
Berdasarkan
desakan keluarga korban, akhirnya Komnas HAM pada tanggal 27 Agustus 2001
mengeluarkan Surat Keputusan No. 034/ Komnas HAM/VII/2001 tentang Pembentukan
KPP HAM Trisakti dan Semanggi I/II. Surat Keputusan Komnas HAM ini kemudian
diperpanjang masa kerjanya selama 90 hari, melalui Surat Keputusan No.
043/Komnas HAM/XI/2001 dan selanjutnya pada tanggal 27 Februari kembali
diperpanjang selama satu bulan, sehingga waktu yang digunakan Komisi Penyelidik
Pelanggaran HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II dalam menjalankan fungsinya,
terhitung mulai sejak tanggal 27 Februari 2001 sampai pada bulan Maret 2002.
Komisi ini bekerja mengumpulkan data (dokumen) dan informasi melalui wawancara
dengan melakukan pemanggilan sejumlah saksi, diantaranya sejumlah civitas
akademika dan mahasiswa, keluarga korban, dokter forensic sebagai saksi ahli,
serta masyarakat umum.
Hal
yang menjadi hambatan bagi KPP HAM kasus Trisakti dan Semanggi I/II adalah
tidak dipenuhinya pemanggilan sejumlah saksi dari unsure TNI/Polri, sehingga
KPP ini kemudian menggunakan hak Sub Poena sebagaimana dijamin dalam Pasal 95
UUPHAM. Dalam pasal ini memuat ketentuan tentang pemanggilan paksa seseorang
yang tidak memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan atas bantuan Ketua
Pengadilan.
Hasil
kerja atau penyelidikan KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II yang termuat
dalam Laporan Ringkasan Eksekutifnya tanggal 20 Maret 2002, menyebutkan
sejumlah individu harus dimintai pertanggung jawaban pidana atas kejahatan
terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan dengan pembiaran (omission) maupun
yang dilakukan secara langsung. Tanggung jawab tersebut berada pada mereka yang
memiliki tugas dan wewenang pada tiga tingkatan yaitu :
a.
Individu-individu yang diduga melakukan
kejahatan kemanusiaan secara langsung di lapangan yaitu sejumlah aparat TNI dan
Polri.
b.
Individu-individu yang diduga melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan karena tindakan dan posisinya di tingkat komando
pengendali operasi lapangan.
c.
Individu-individu yang diduga melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan karena tindakan membiarkan dan posisi di tingkat
komando strategi/kebijakan.
Berdasarkan hasil penyelidikan atau temuan tim KPP HAM
Kasus Trisakti dan Semanggi I/II, kemudian tim ini meminta kepada Komnas HAM
untuk melimpahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung untuk
ditindaklanjuti sebagai lembaga yang diberikan wewenang melakukan penyidikan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UUPHAM.
Harapan Komnas HAM terhadap penyelesaian kasus Trisakti
dan Semanggi I/II di lembaga Jaksa Agung, ternyata tidak sesuai kenyataan.
Berkas hasil penyelidikan KPP HAM Kasus Trisakti dan Semanggi I/II beberapa
kali dikembalikan oleh Jaksa Agung dengan pertimbangan agar dilengkapi.
Menanggapi pengembalian berkas laporan dari Jaksa Agung, Komnas HAM kemudian
membentuk tim khusus untuk menyempurnakan berkas tersebut yang menitikberatkan
pada penambahan keterangan saksi.
Terjadinya beberapa kali pengembalian hasil penyelidikan
KPP HAM dari Jaksa Agungm adalah merupakan bagian dari kendala lanjutan penyelesaian
kasus Trisakti dan Semanggi I/II untuk mencari proses semestinya melalui
pengadilan HAM Ad Hoc.
Tujuan utama agar penyelesaian Kasus Trisakti dan
Semanggi I/II diproses melalui Pengadilan HAM Ad Hoc adalah agar selain pelaku
di lapangan diproses, juga komandan atau pengambil kebijakan dalam penanganan
demonstrasi ikut bertanggung jawab.
Kalau kasus ini hanya diproses di pengadilan militer, maka komandan lapangan,
baik dari pihak tentara atau polisi, dengan sendirinya akan terlepas dari
tanggung jawab. Hanya para prajuritlah yang kemudian akan dipersalahkan, karena
alasan tidak melaksanakan secara benar perintah komandan, atau karena kesalahan
prosedur, karena dalam proses peradilan militer, tidak dikenal prinsip tanggung
jawab komandan.
Alasan yang
mendasari prinsip tanggung jawab komandan adalah setiap penyelenggaraan
kekuasaan, dimana di dalam dirinya mengandung tanggung jawab. Demikian pula
hukum kebiasaan internasional, dikenal bahwa negara dalam hal ini penguasa
(komandan) tentara dan polisi harus bertanggung jawab atas perilaku kekuatan
bersenjatanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh
manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai
keinginan agar Hak Asasi
Manusianya terpenuhi, tapi satu
hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas Hak Asasi Manusia orang lain. Hak Asasi Manusia setiap
individu dibatasi oleh Hak Asasi
Manusia orang lain. Dalam kehidupan bernegara Hak Asasi Manusia diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok
atau suatu instansi atau bahkan suatu negara akan diadili dalam pelaksanaan
peradilan Hak Asasi Manusia, pengadilan Hak Asasi Manusia menempuh
proses pengadilan
melalui hukum acara peradilan Hak
Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalamUndang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi I/II
sampai sekarang belum diproses di Pengadilan Ad Hoc, karena terjadi perbedaan
penafsiran penerapan UUPHAM, dimana UUPHAM tidak secara jelas menentukan
mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama fungsi
DPR RI dalam peranannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan memberikan
rekomendasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan dalam
Pengadilan HAM Ad Hoc. Pada satu sisi Komnas HAM sebagai penyelidik berpendapat
bahwa Trisakti dan Semanggi I/II merupakan pelanggaran HAM berat sementara pada
sisi lain, DPR RI memberikan rekomendasi bahwa kasus tersebut bukan pelanggaran
HAM berat, untuk itu menurutnya cukup diproses di Pengadilan Militer saja.
B. Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu
mempertahankan dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga Hak Asasi Manusia orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan
Jangan sampai pula Hak Asasi
Manusia kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang
lain. Jadi dalam menjaga Hak Asasi
Manusia kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi
antara Hak Asasi Manusia kita dengan Hak Asasi Manusia orang
lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosali Abdullah. Syamsir. 2002. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Ghalia
Indonesia. Jakarta
Fadli Andi Natsif. 2006. Prahara Trisakti dan Semanggi. Analisis Sosio Yuridis Pelanggaran HAM
di Indonesia. PT. Agatama Media Prestasi. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar